Hukum Gurauan Cerai
Sebaiknya seorang laki-laki yang beristri selalu menjaga lisannya dari kata-kata yang mengandung makna perceraian, meskipun dalam konteks bercanda. Karena Rasulullah saw bersabda:
ثَلاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكاحُ، والطَّلاقُ، والرَّجْعَةُ
Artinya, "Ada tiga hal yang seriusnya dihukumi serius, bercandanya pun dihukumi serius, yaitu: nikah, talak, dan rujuk". (HR At-Tirmidzi).
Berdasarkan hadits ini, kata 'seandainya' yang diucapkan seseorang
yang menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut hanya sebatas candaan, tetap
dihukumi sama seperti ucapan yang serius.
Sebab itu, sebaiknya jauhi candaan yang menyangkut talak. Berbeda dengan
bercanda dengan mengisahkan dan memeragakan adegan talak, secara fiqih tidak
dianggap sebagai talak.
(Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu'in, [Beirut: Dar Ibn Hazm, tt],
halaman 507).
Dalam hukum Islam shighat
(ucapan) talak dibagi menjadi dua:
1. Talak sharih (jelas), yaitu kalimat yang tidak memiliki kemungkinan makna lain selain talak. Contohnya seperti kalimat: "Aku ceraikan kamu" atau "Aku telah menjatuhkan talak pada istriku". Jika seorang suami mengucapkan sighat talak sharih, maka otomatis jatuh talak, meskipun tanpa disertai niat menceraikan istri.
2. Talak kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang memiliki kemungkinan makna lain selain talak. Contohnya seperti kalimat: "Aku telah berpisah dengan istriku". Kata 'berpisah' selain bisa dimaknai sebagai perceraian, bisa juga dimaknai sebagai terpisah secara fisik karena jarak yang jauh. Talak yang diucapkan dengan shighat kinayah tidak berdampak pada putusnya ikatan pernikahan kecuali jika disertai dengan niat menceraikan istri.
Dalam kitab Fathul Mu'in disebutkan:
لو قال لوليها: زوّجها فمقر بالطلاق
Artinya, "Jika seorang laki-laki berkata kepada wali istrinya: "Nikahkanlah dia (istriku), maka laki-laki tersebut berarti telah mengakui (beriqrar) bahwa istrinya sudah dicerai olehnya." (Al-Malibari, 509).
Hal ini karena, dengan mempersilahkan wali istrinya untuk menikahkannya, artinya suami telah memutus ikatan pernikahan dengan istrinya. Karena salah satu syarat seorang perempuan halal dinikahi adalah tidak memiliki ikatan pernikahan dengan siapapun.
Kita juga perlu melihat kaidah bahasa sebagaimana penjelasan Imam As-Suyuthi berikut:
إنَّمَا يَتَجَاذَبُ الْوَضْعُ وَالْعُرْفُ فِي الْعَرَبِيِّ، أَمَّا الْأَعْجَمِيُّ فَيُعْتَبَر عُرْفُهُ قَطْعًا
Artinya, "Kontradiksi antara penggunaan makna asal dan makna yang berlaku secara umum hanya terjadi dalam bahasa Arab. Adapun bahasa selain Arab, yang dipandang adalah makna yang berlaku secara umum." (Al-Asybah wan Nazhair [Beirut, Darul Kutubil 'Ilmiyyah: 1983], halaman 95).
0 komentar:
Posting Komentar