Buku Individu Hasil Karya Kepala Madrasah

Karya perdana Kepala Madrasah yang merupakan hasil Pelatihan Menulis Buku yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Pengembangan Profesi Guru (P3G) Jawa Timur dan Penerbit Delta Pustaka.

Buku Kolaborasi Hasil Karya Kepala Madrasah

Karya Kepala MI Nurul Jannah NW Ampenan di Musim Pandemi Covid-19 kolaborasi dengan Kepala MIN 2 Kota Mataram.

14 Buku Kolaborasi Hasil Karya Kepala Madrasah

14 Buku ini merupakan Hasil Karya Kepala Madrasah yang melakukan Kolaborasi dengan bapak dan ibu Guru Se-Indonesia.

Kepala Madrasah Menjadi Pemateri dalam Sosialisasi 4 Pilar MPR RI

Sosialisasi 4 Pilar MPR-RI yang dilaksanakan oleh komunitas belajar atas prakarsa Kepala SMPN 10 Mataram, Kepala Madrasah mendapat tugas untuk menjadi nara sumber salah satu empat pilar tersebut.

Pengolahan Bubur Kertas (MoU dengan POSYANTEK AMPENAN)

Dalam rangka memperluas jaringan dan membekali siswa-siswi dengan skill yang memadai terutama dalama menghadapi perkembangan zaman yang semakin rumit dan sulit, Kepala Madrasah membuat MoU dengan POSYANTEK Ampenan untuk melatih membuat aneka kerajinan dari bubur kertas.

Imtaq Bersama (Setiap Hari Selasa-Kamis)

Untuk mempersiapkan generasi yang kuat iman dan islamnya, maka Kepala Madrasah bersama bapak-ibu guru memprogramkan kegiatan imtaq bersama yang diawali dengan pembacaan shalawat Nahdlatain, asma'ul husna, juz 'amma, latihan pidato, tausiyah, doa, dan diakhiri dengan shalat duha berjamaah.

Latihan Manasik Haji (Program Tahunan)

Sebagai langkah awal untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima, Kepala Madrasah bersama bapak-ibu guru membuat program tahunan, yakni melakukan latihan manasik haji di kantor embarkasi Lombok dengan harapan mudah-mudahan memiliki ilmu yang mumpuni dan segera memiliki nasib ke baitullah al haram.

Upacara Hari Santri (Kegiatan Tahunan Siswa)

Sebagai warga negara yang nasionalis, Kepala Madrasah bersama warga madrasah melakukan upacara bendera setiap hari senin dan hari-hari besar nasional terutama hari santri yang merupakan hari kebanggaan bagi santri pondok pesantren seluruh Indonesia.

Upacara Hari Santri (Kegiatan Tahunan Guru)

Sebagai warga negara yang nasionalis, Kepala Madrasah bersama warga madrasah melakukan upacara bendera setiap hari senin dan hari-hari besar nasional terutama hari santri yang merupakan hari kebanggaan bagi santri pondok pesantren seluruh Indonesia.

Lomba Calistung MI Se-Kota Mataram

Untuk mengasah bakat, minat, dan ilmu pengetahuan yang diperoleh, siswa-siswi unjuk gigi dalam setip event lomba, baik yang diadakan oleh FKKMI, KKM, maupun lembaga/instansi lainnya.

Selasa, 29 April 2025

HUKUM REBONDING DAN KRITING RAMBUT

 

 HUKUM REBONDING DAN KRITING RAMBUT

KERANGKA ANALISIS MASALAH
Tidak setiap manusia dianugerahi penampilan dan fisik yang indah, menarik dan sempurna. Disisi lain, ada naluri dalam diri setiap manusia untuk terlihat menarik dihadapan orang lain. Hal ini menyebabkan berkembangnya berbagai macam bentuk perawatan kecantikan kulit dan rambut.
Rebonding adalah salah satu cara meluruskan rambut melalui proses kimiawi agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih indah.
Dalam sebagian praktek, helai rambut yang terkena perlakuan rebonding akan terlihat lurus secara permanen, dan tidak bisa pulih seperti sedia kala. Karena sebenarnya bagian rambut tersebut telah rusak. Rambut yang pulih seperti aslinya adalah rambut baru yang muncul menggantikan yang telah rusak.
Dalam kenyataannya, metode pelurusan rambut atau yang dikenal luas dengan rebonding variatif. Ada yang dengan merubah struktur ikatan protein rambut melalui memutuskan ikatan asam amino cystine yang menyebabkan rambut bergelombang atau mengurangi ikal dan volume saja. Daya tahannyapun bervariasi mulai 2 minggu hingga 10 bulan.

PERTANYAAN
Bagaimana hukum melakukan rebonding dan pengeritingan rambut?

JAWABAN
Hukum merebonding dan pengeritingan rambut hukumnya haram, kecuali bagi wanita yang sudah bersuami dengan syarat ada idzn az-zauj (seizin suami).

REFERENSI

١. روضة الطالبين وعمدة المفتين ,1/276
فَرْعٌ:
وَصْلُ الْمَرْأَةِ شَعْرَهَا بِشَعْرٍ نَجِسٍ، أَوْ بِشَعْرٍ آدَمِيٍّ، حَرَامٌ قَطْعًا؛ لِأَنَّهُ يَحْرُمُ الِانْتِفَاعُ بِشَيْءٍ مِنْهُ لِكَرَامَتِهِ، بَلْ يُدْفَنُ شَعْرُهُ وَغَيْرُهُ. وَسَوَاءٌ فِي هَذَيْنِ الْمُزَوَّجَةُ وَغَيْرُهَا، وَأَمَّا الشَّعْرُ الطَّاهِرُ لِغَيْرِ الْآدَمِيِّ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ ذَاتَ زَوْجٍ وَلَا سَيِّدٍ، حَرُمَ الْوَصْلُ بِهِ عَلَى الصَّحِيحِ. وَعَلَى الثَّانِي: يُكْرَهُ، وَإِنْ كَانَتْ ذَاتَ زَوْجٍ أَوْ سَيِّدٍ، فَثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ: أَصَحُّهَا: إِنْ وَصَلَتْ بِإِذْنِهِ جَازَ، وَإِلَّا حَرُمَ. وَالثَّانِي: يُحَرَّمُ مُطْلَقًا، وَالثَّالِثُ: لَا يَحْرُمُ وَلَا يُكْرَهُ مُطْلَقًا، وَأَمَّا تَحْمِيرُ الْوَجْنَةِ، فَإِنْ كَانَتْ خَلِيَّةً مِنَ الزَّوْجِ أَوِ السَّيِّدِ أَوْ كَانَ أَحَدُهُمَا، وَفَعَلَتْهُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَهُوَ حَرَامٌ، وَإِنْ كَانَ بِإِذْنِهِ فَجَائِزٌ عَلَى الْمَذْهَبِ، وَقِيلَ: وَجْهَانِ كَالْوَصْلِ.
وَأَمَّا الْخِضَابُ بِالسَّوَادِ وَتَطْرِيفِ الْأَصَابِعِ فَأَلْحَقُوهُ بِالتَّحْمِيرِ.
قَالَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ: وَيَقْرُبُ مِنْهُ تَجْعِيدُ الشَّعْرِ، وَلَا بَأْسَ بِتَصْفِيفِ الطُّرَرِ وَتَسْوِيَةِ الْأَصْدَاغِ.

٢. وحواشي الشرواني والعبادي، ١٢٨/٢
فُرُوعٌ) وَيَحْرُمُ عَلَى الْمَرْأَةِ وَصْلُ شَعْرِهَا بِشَعْرٍ طَاهِرٍ مِنْ غَيْرِ آدَمِيٍّ وَلَمْ يَأْذَنْهَا فِيهِ زَوْجٌ أَوْ سَيِّدٌ وَيَجُوزُ رَبْطُ الشَّعْرِ بِخُيُوطِ الْحَرِيرِ الْمُلَوَّنَةِ وَنَحْوِهَا مِمَّا لَا يُشْبِهُ الشَّعْرَ وَيَحْرُمُ أَيْضًا تَجْعِيدُ شَعْرِهَا وَوَشْرُ أَسْنَانِهَا، وَهُوَ تَحْدِيدُهَا وَتَرْقِيقُهَا وَالْخِضَابُ بِالسَّوَادِ وَتَحْمِيرُ الْوَجْنَةِ بِالْحِنَّاءِ وَنَحْوِهِ وَتَطْرِيفُ الْأَصَابِعِ مَعَ السَّوَادِ وَالتَّنْمِيصُ، وَهُوَ الْأَخْذُ مِنْ شَعْرِ الْوَجْهِ وَالْحَاجِبُ الْمُحَسَّنُ فَإِنْ أَذِنَ لَهَا زَوْجُهَا أَوْ سَيِّدُهَا فِي ذَلِكَ جَازَ؛ لِأَنَّ لَهُ غَرَضًا فِي تَزَيُّنِهَا لَهُ كَمَا فِي الرَّوْضَةِ، وَهُوَ الْأَوْجَهُ وَإِنْ جَرَى فِي التَّحْقِيقِ عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ فِي الْوَصْلِ وَالْوَشْرِ فَأَلْحَقَهُمَا بِالْوَشْمِ فِي الْمَنْعِ مُطْلَقًا -الى أن قال- هَلْ يُكْرَهُ فِي غَيْرِ الْمُزَوَّجَةِ أَوْ يَحْرُمُ فِيهِ نَظَرٌ وَقَضِيَّةُ قَوْلِ الشَّارِحِ م ر فَإِنْ أَذِنَ لَهَا زَوْجُهَا أَوْ سَيِّدُهَا فِي ذَلِكَ جَازَ الثَّانِي وَيُؤَيِّدُهُ أَنَّهَا تَجُرُّ بِهِ الرِّيبَةَ عَلَى نَفْسِهَا

٣. ابن حجر العسقلاني، فتح الباري لابن حجر، ٤٠٠/٣
(قَوْلُهُ بَابُ مَنْ أَهَلَّ مُلَبِّدًا أَيْ أَحْرَمَ وَقَدْ لَبَّدَ شَعْرَ رَأْسِهِ)
أَيْ جَعَلَ فِيهِ شَيْئًا نَحْوَ الصَّمْغِ لِيَجْتَمِعَ شَعْرُهُ لِئَلَّا يَتَشَعَّثَ فِي الْإِحْرَامِ أَوْ يَقَعَ فِيهِ الْقَمْلُ

٤. ابن حجر العسقلاني، فتح الباري لابن حجر، ص ٣٧٧-٣٨٨
قَالَ الطَّبَرِيُّ لَا يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ تَغْيِيرُ شَيْءٍ مِنْ خِلْقَتِهَا الَّتِي خَلَقَهَا اللَّهُ عَلَيْهَا بِزِيَادَةٍ أَوْ نَقْصٍ الْتِمَاسَ الْحُسْنِ لَا لِلزَّوْجِ وَلَا لِغَيْرِهِ كَمَنْ تَكُونُ مَقْرُونَةَ الْحَاجِبَيْنِ فَتُزِيلُ مَا بَيْنَهُمَا تَوَهُّمُ الْبَلَجَ أَوْ عَكْسَهُ وَمَنْ تَكُونُ لَهَا سِنٌّ زَائِدَةٌ فَتَقْلَعُهَا أَوْ طَوِيلَةٌ فَتَقْطَعُ مِنْهَا أَوْ لِحْيَةٌ أَوْ شَارِبٌ أَوْ عَنْفَقَةٌ فَتُزِيلُهَا بِالنَّتْفِ وَمَنْ يَكُونُ شَعْرُهَا قَصِيرًا أَوْ حَقِيرًا فَتُطَوِّلُهُ أَوْ تُغَزِّرُهُ بِشَعْرِ غَيْرِهَا فَكُلُّ ذَلِكَ دَاخِلٌ فِي النَّهْيِ وَهُوَ مِنْ تَغْيِيرِ خَلْقِ اللَّهِ تَعَالَى قَالَ وَيُسْتَثْنَى مِنْ ذَلِكَ مَا يَحْصُلُ بِهِ الضَّرَرُ وَالْأَذِيَّةُ كَمَنْ يَكُونُ لَهَا سِنٌّ زَائِدَةٌ أَوْ طَوِيلَةٌ تُعِيقُهَا فِي الْأَكْلِ أَوْ إِصْبَعٌ زَائِدَةٌ تُؤْذِيهَا أَوْ تُؤْلِمُهَا فَيَجُوزُ ذَلِكَ وَالرَّجُلُ فِي هَذَا الْأَخِيرِ كَالْمَرْأَةِ وَقَالَ النَّوَوِيُّ يُسْتَثْنَى مِنَ النِّمَاصِ مَا إِذَا نَبَتَ لِلْمَرْأَةِ لِحْيَةٌ أَوْ شَارِبٌ أَوْ عَنْفَقَةٌ فَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهَا إِزَالَتُهَا بَلْ يُسْتَحَبُّ قُلْتُ وَإِطْلَاقُهُ مُقَيَّدٌ بِإِذْنِ الزَّوْجِ وَعِلْمِهِ وَإِلَّا فَمَتَى خَلَا عَنْ ذَلِكَ مُنِعَ لِلتَّدْلِيسِ

Sumber: Buku “Maslakul muridin”

Senin, 21 April 2025

Hukum Membatalkan Ibadah Wajib

 Membatalkan Ibadah Wajib
----------------------

Boleh apa tidak ya..❓❓
    
                        --<>--<>--<>--<>--

واعلم أن الفرض يحرم قطعه صوماً كان أو غيره، والنفل لا يحرم قطعه صوماً كان أو غيره، إلا الحج والعمرة، وكذلك فرض الكفاية فيجوز قطعه، إلا إن تعين، أو كان حجاً أو عمرة.
[الباجوري، ١/ ٦٣٢]

Ketahuilah..bahwa memutus (membatalkan) ibadah Fardhu hukumnya haram.¹ Baik berupa ibadah puasa atau selainnya. Sedangkan membatalkan ibadah Sunnah tidak haram hukumnya. Baik berupa ibadah puasa atau selainnya. Kecuali, ibadah Haji dan Umroh (tidak boleh dibatalkan meskipun berupa Sunnah). Demikian juga dengan fardhu kifayah, boleh membatalkannya, kecuali jika menjadi tertentu kewajiban atas dirinya², atau (fardhu kifayahnya) berupa Haji dan Umroh.
-----
¹.tanpa sebab/udzur yang dibenarkan
².misalnya tidak ada yang bisa melakukan selain dirinya

Puasa Qodho Disuguhi Makan

 Puasa Qodho Disuguhi Makan
----------------------

Bolehkah batalkan puasa Qodho Ramadhan karena disuguhi makanan ...❓
    
                        --<>--<>--<>--<>--

*وقوله في صوم نفل: خرج به الفرض كنذر مطلق وقضاء ما فات من رمضان فيحرم الخروج منه ولو توسع وقته
[البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ,3/416]

Ucapan pengarang Fathul Mu'in [di dalam puasa Sunnah] dengannya dikecualikan puasa Fardhu, seperti puasa Nadzar Mutlak dan qodho puasa yang terlewat saat Romadhon. Maka haramlah keluar (membatalkan) puasa wajib meskipun waktunya luas.

PERMASALAHAN BERDOA DENGAN MENGIRIM STIKER DI GRUP

 PERMASALAHAN BERDOA DENGAN MENGIRIM STIKER DI GRUP
~~~


 📌Pertanyaan :

Apakah doa yg dikirim melalui stiker itu dianggap doa dan bermanfaat kepada mayyit ???


Jawaban :
Do'a yang dikirim untuk orang yang sudah meninggal adalah bisa sampai dan bermanfaat untuk mayyit

Doa-doa tersebut harus dilafadzkan (diucapkan) secara lengkap terlebih dahulu, sebelum dishare.

 Tetapi jika doa-doa tersebut hanya berbentuk stiker atau teks bacaan al-Fatihah dan do'a lainnya tanpa diucapkan terlebih dahulu sebelum dishare, (maka) tidak dikatakan doa dan tidak ada manfaatnya bagi mayyit.

(Referensi) silahkan dilihat beberapa keterangan sebagai berikut:

1. Kitab  al-Adzkar li-Syaikhil Islam al-Imam al-Nawawi, hal. 16:

اعلم أن الأذكار المشروعة في الصلاة وغيرها واجبةً كانت أو مستحبةً لا يُحسبُ شيءٌ منها ولا يُعتدّ به حتى يتلفَّظَ به بحيثُ يُسمع نفسه إذا كان صحيح السمع لا عارض له

"Ketahuilah bahwa dzikir yang disyariatkan dalam salat dan ibadah lainnya, baik yang wajib ataupun sunnah tidak dihitung dan tidak dianggap kecuali diucapkan, sekiranya ia dapat mendengar yang diucapkannya sendiri apabila pendengarannya sehat dan dalam keadaan normal (tidak sedang bising dan sebagainya)."

2.  Kitab Al Mausu'ah al-Fiqhiyah (21/249):

 "لا يعتدُّ بشيء مما رتَّب الشارع الأجر على الإتيان به من الأذكار الواجبة أو المستحبة في الصلاة وغيرها حتى يتلفظ به الذاكر ويُسمع نفسه إذا كان صحيح السمع؛

"Dzikir yang wajib atau sunah, di dalam shalat atau yang lain, tidak bisa mendapatkan pahala kecuali dilafadzkan  orang yang berdzikir tersebut dan (suaranya) terdengar,  jika pendengarannya normal."

SHALAT SUNNAH SYAWAL

 Salah satu ibadah yang termasuk jarang diketahui dan juga jarang dilakukan kecuali mereka yang mengerti adalah shalat sunnah di bulan Syawal. Sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berdasarkan pada hadits Rasulullah saw. dalam kiitabnya Al-Ghunyah juz dua:

 

حدثنا أبو نصر بن البناء عن والده قال: حدثنا أبوعبد الله الحسين بن عمر العلاف, قال: أخبرنا أبو القاسم القاضى قال: حدثنا محمد بن أحمد بن صديق قال: حدثنا يعقوب بن عبد الرحمن قال: أنبأنا أبو بكر أحمد بن خعفر المروزى, قال: حدثنا على ابن معروف قال: حدثنى محمد بن محمود قال: أخبرنا يحيى بن شبيب قال: حدثناحميد عن أنس رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((من صلى فى شوال ثمان ركعات ليلا كان او نهارا يقراء فى كل ركعة بفاتحة الكتاب وخمس عشرة (قل هو الله أحد ...) فاذا فرغ من صلاته سبح سبعين مرة وصلى على النبي صلى الله عليه وسلم سبعين مرة, قال النبي صلى الله عليه وسلم: والذى بعثنى بالحق ما من عبد يصلى هذه الصلاة الا أنبع الله له ينابيع الحكمة فى قلبه وأنطق به لسانه وأراه داء الدنيا ودواءها, والذى بعثنى بالحق من صلى هذه الصلاة كما وصفت لايرفع رأسه من أخر سجدة حتى يغفر الله له, وان مات مات شهيدا مغفورا له, و ما من عبد صلى هذه الصلاة فى السفر إلاسهل الله عليه السير والذهاب الى موضع مراده, وان كان مديونا قضى الله دينه, وان كان ذا حجة قضى الله حوائجه, والذى بعثنى بالحق ما من عبد يصلى هذه الصلاة إلا أعطاه الله تعالى بكل حرف وبكل أية مخرفة فى الجنة قيل وما المخرفة يا رسول الله قال صلى الله عليه وسلم بساتين فى الجنة يسير الراكب فى ظل شجرة من أشجارها مائة سنة ثم لايقطعها))

 

Diceritakan dari Anas Radhiallahu Anhu, dia berkata bahwasannya Rasulullah saw pernah bersabda ((barang siapa shalat di bulan syawal sebanyak delapan raka�at baik dilakukan malam hari maupun siang hari yang mana di setiap rakaatnya membaca al-Fatihah dan Qul Huwallahu ahad �al-khlas- sebanyak lima belas kali. Setelah delapan rakaat tersebut kemudian dilanjut dengan membaca tasbih (subhanallah wa bi hamdihi, subhanallahil adhim) tujuh puluh kali dan shalawat (allahumma shallli �ala sayyidina Muhammad) tujuh puluh kali. Maka demi dzat yang telah mengutusku, Allah akan mengalirkan hikmah (kebijaksanaan/kebenaran) dalam hati yang diungkapkan melalui lisan seorang hamba yang telah melaksanakan shalat ini , dan Allah akan tunjukkan kepada dia penyakit-penyakit dunia serta obatnya. Dan demi dzat yang telah mengutusku, barang siapa yang mendirikan shalat ini sesuai tata caranya, maka akan diampuni dosa-dosanya sebelum ia mengangkat kepala setelah sujudnya, dan andaikan dia mati, maka dia mati dalam keadaan syahid yang dosanya telah diampuni. Dan tiada seorang hamba yang melaksanakan shalat ini dalam keadaan bepergian, kecuali Allah mudahkan baginya perjalanannya hingga tempat yang dituju. Andaikan ia memiliki hutang, maka hutangnya akan terbayar, dan seandainya ia memiliki kebutuhan, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Dan demi dzat yang telah mengutusku, tiada seorang hamba yang menjalankan shalat ini kecuali Allah berikan untuknya di setiap huruf dan ayatnya sebuah makhrafah di surga nantinya. Kemudian dipertanyakan �apakah mkahrafah itu Ya Rasul? Rasulullah saw menjawab makhrafah adalah dua ekor domba yang mempermudah penunggangnya mengelilingi (kebon penuh) pepohonan yang tidak pernah dipotong selama seratus tahun)).

 

Yang dimaksud dengan shalat tersebut adalah delapan rakaat shalat sunnah mutlak yang dilakukan selama bulan Syawwal. Dengan ketentuan empat kali salam yang disetiap rakaatnya dibaca al-fatihah dan lima belas kali surat al-ikhlas. Kemudian dilanjut dengan 70 kali bacaan tasbih dan 70 kali bacaan shalawat. Adapu fadhilahnya dapat telah diterangkan dalam hadits tersebut.

> http://www.nu.or.id/

(Kitab Al-ghunyah li Thalibiy Thariqil Haq Fil Akhlaq Wat Tasawwuf Wal Adabil Islamiyah, karangan Syaikh Abdulqadir Al-Jilani Al-hasani, juz II hal )

Makmum Masbuq dan Makmum Muwafiq

 MAKMUM BELUM SELESAI FATIHAH IMAM SUDAH RUKUK

Sebenarnya sudah berkali kali nulis tentang ini tapi masih juga banyak yang kesulitan memahami.
.
Kuncinya, harus bisa membedakan antara makmum masbuq dan makmum muwafiq. Coba kita poinkan biar mudah tanya jawabnya.
.
1. Masbuq adalah makmum yang jarak antara takbiratul ihramnya dia dengan rukuknya imam tidak cukup digunakan membaca Alfatihah dengan lengakap
.
2. Muwafiq adalah makmum yg memiliki cukup waktu untuk membaca Alfatihah terhitung mulai dia takbir hingga imam bergerak menuju rukuk.
.
3. Makmum masbuq tidak boleh menyelsaikan Alfatihah, tetapi harus rukuk mengikuti imam sampai dia yakin bisa tumakninah rukuk bersamaan dengan tumakninah rukuknya imam.
.
4. Jika makmum masbuq tidak bisa tumakninah bersama imam, misalnya ia baru menuju rukuk sedangkan imamnya menuju bangun, maka satu rakaat makmum tidak terhitung. Sehingga nanti wajib menambah satu rakaat.
.
5. Jika makmum masbuq memaksakan diri melanjutkan Alfatihah sedangakan imam sudah bangun dari rukuk maka makmum tidak boleh rukuk, tetapi langusng mengikuti gerakan imam yaitu itidal dan sujud. Nanti makmum nambah satu rakaat.
.
6. Jika makmum masbuq memaksakan diri membaca Alfatihah dan melanjutkan rukuk sedangkan imam sudah bergerak menuju sujud maka makmum ini sholatnya batal. Harus mengulangi takbiratul ihrom lagi kecuali sebelum imam bergerak menuju sujud dia sudah niat mufaroqoh, memisahkan diri dari imam.
.
7. Hukum masbuq ini juga bisa terjadi pada rakaat kedua dan seterusnya. Satu kali sholat bisa saja seorang makmum mengalami masbuq empat kali. Misalnya bacaan fatihah imam super cepat sedangkan bacaan makmum standard. Sehingga setiap rakaat makmum tidak perlu menyelesaikan Alfatihah, langsung saja rukuk ikuti poin 3, jika tidak maka poin 4, 5, dan 6.
.
8. Jika makmum masbuq sudah tahu dirinya tidak akan mampu menyelesaikan Alfatihah, tapi malah dia baca doa iftitah, atau baca taawwud, maka ketika imam rukuk, dia tidak boleh ikut rukuk. Dia harus melanjutkan Alfatihah dengan durasi waktu sama dengan yg ia gunakan untuk membaca sunnah sunnah tadi, baru boleh rukuk dengan ketentuan poin 4.
.
9. Makmum muwafiq, yaitu makmum yang punya waktu cukup untuk membaca Alfatihah dengan kecepatan standard, sebelum imam menuju rukuk. (Ini mengulang poin 2)
.
10. Makmum muwafiq harus menyelsaikan bacaan fatihahnya walaupun imam sudah rukuk. Tidak boleh fatihah dipotong lalu mengikuti imam rukuk seperti yg dilakukan oleh makmum masbuq.  
.
11. Makmum muwafiq yang diam mendengarkan bacaan Fatihah imam, atau mebaca doa iftitah dan taawud, karena berprasangka bahwa fatihahnya nanti bisa diselesaikan setelah imam selesai membaca aamiin, jika ternyata imam membaca surat terlalu pendek, sehingga imam rukuk sebelum makmum menyelesaikan alfatihah, maka makmum wajib menyelsaikan alfatihahnya walaupun harus tertinggal dari imam. Tidak perlu terburu buru karena ada batas toleransi sampai imam bangun dari sujud yang kedua. Sebelum imam bangun dari sujud kedua, apabila makmum sudah menyelasikan alfatihahnya maka makmum terus saja melanjutkan rukuk itidal dan seterusnya. Tidak berlaku baginya aturan poin 3. Artinya, dia tidak wajib tumakninah rukuk bersama sama dengan imam, dan rakaatnya tetap terhitung.
.
12. Jika makmum muwafiq sudah yakin, bahwa imam akan membaca surat terlalu pendek, maka makmum tidak boleh diam mendengarkan fatihah imam, ia harus baca fatihah bersama sama dengan imam agar nanti tidak tertinggal rukuk. Jika tidak, maka berlaku baginya poin 8.
.
13. Toleransi seperti penjelasan poin 11, ini berlaku juga untuk 13 alasan keterlambatan lainnya, namun tidak akan ditulis di sini karena terlalu panjang.
.
14. Jika makmum muwafiq sudah menyelsaikan poin 11, lalu ketika ia bangun dari sujud kedua menuju berdiri, ternyata jarak antara dia sempurna berdiri sampai imam menuju rukuk tidak cukup untuk baca alfatihah, maka makmum ini menjadi masbuq lagi di rakaat kedua. Berlaku baginya poin 3, 4, 5, 6, dan 7.
.
15. Ini poin terpenting, jika makmum menjadi semakin bingung setelah membaca penjelasan ini berarti Anda belum sarapan pagi.
.
16. Jika pusing, langsung saja rujuk ke dokter :
Nihayatuzzain 59-60
Taqrirat Sadidat 300
Kifayat Akhyar 133-134
Fathul Muin 17
.
17. Boleh dishare gak boleh dicopy biar nanti kalau ada yg perlu direvisi penulis cukup merevisi tulisan ini saja tak perlu merisaukan yg sudah terlanjur dicopy.
.
------
.
18. Makmum yang bacaaanya lemoooot imam bacaannya standard, tidak boleh ikut poin 7 tapi harus poin 11.
.
19. Makmum muwafiq yang fatihahnya diulang ulang karena was was parah, tidak boleh ikut poin 7 dan tidak boleh ikut poin 11, tapi wajib menyelesaikan fatihah dengan ketentuan poin 4, 5, dan 6.

Minggu, 13 April 2025

HUKUM TALAK YANG DIGANTUNGKAN

 

HUKUM TALAK YANG DIGANTUNGKAN


1. Fathul Qorib al-Mujib – Imam Abu Syuja’

    ويصحّ الطلاق مُعلَّقًا بشرطٍ مستقبلٍ، كقوله: إن دخلتِ الدار فأنتِ طالق.

📖 Fathul Qarib, Bab Thalaq

Artinya:
Talak sah jika digantungkan pada syarat di masa depan, seperti perkataannya: “Jika kamu masuk rumah, maka kamu tertalak.”
2. Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Fathil Qarib

    قوله: إن دخلت الدار فأنت طالق — هذا من التعليق بشرط مستقبل، وهو جائز، ويقع عند تحقق الشرط.

📖 Hasyiyah al-Bajuri, Juz 2, Hal. 123

Artinya:
Lafaz “Jika engkau masuk rumah maka engkau tertalak” termasuk bentuk taklik dengan syarat masa depan, dan hal ini dibolehkan. Talak terjadi ketika syarat itu terpenuhi.
3. Kifayatul Akhyar – Imam Taqiyuddin al-Husaini

    ويصح تعليقه على شرط مستقبل، كقوله: إن فعلتِ كذا فأنتِ طالق.

📖 Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, Bab Thalaq

Artinya:
Talak sah jika digantungkan pada suatu syarat di masa mendatang, seperti: "Jika kamu melakukan ini, maka kamu tertalak.

STATUS PERWALIAN DAN NASAB ANAK ZINA

 STATUS PERWALIAN DAN NASAB ANAK ZINA



Status anak yang dilahirkan diperinci sebagai berikut :

1.Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun setelah akad nikahnya, maka ada dua keadaan

2.Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya).

3.Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.

4.Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.

Ini berlaku bagi anak yang dilahirkan laki-laki ataupun perempuan. Berarti bapak sebagai wali dalam menikahkan anak perempuannya jika diakui nasabnya dan hakim sebagai walinya jika tidak diakui nasabnya.

Perlu diperhatikan, walaupun status anak tidak bisa dinisbatkan kepada suami, tetap dinyatakan mahram baginya dikarenakan dia menjadi suami ibunya yang melahirkannya (bapak tiri) jika telah berhubungan badan dengan ibu yang melahirkannya.

CATATAN : Perempuan yang hamil di luar nikah jika dinikahkan dengan laki-laki yang berhubungan badan dengannya atau yang lainnya dengan tujuan menutupi aib pelaku atau menjadi ayah dari anak dalam kandungan, maka haram hukumnya dan wajib bagi penguasa membatalkan acara itu. Bagi yang menghalalkan acara itu dengan tujuan tersebut di atas, dihukumi keluar dari agama islam dan dinyatakan murtad (haram dishalati jika meninggal, dan tidak dikubur dimakam islam) karena adanya penipuan nasab dengan berkedok agama sehingga mengakui bayi yang lahir sebagai anaknya padahal diluar nikah, mendapatkan warisan padahal sebenarnya bukan dzawil furudh, menjadi wali nikah jika yang lahir perempuan padahal bukan menjadi ayahnya yang sebenarnya (berarti nikahnya tidak sah), atau anak yang lahir menjadi wali nikah dari keluarga laki-laki yang mengawini ibunya, bersentuhan kulit dengan saudara perempuan laki-laki itu dengan berkeyakinan tidak membatalkan wudlu’ dst.

[3] بغية المسترشدين ص235 – 236

( مسئلة ي ش ) نكح حاملا من الزنا فولدت كاملا كان له أربعة أحوال إما منتف عن الزوج ظاهرا وباطنا من غير ملاعنة وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الإجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الإجتماع وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثا وغيره ظاهرا ويلزم نفيه بأن ولدت لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه أو لأكثر من أربع سنين منه أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضه وثم قرينة بزناها ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة وورد أن تركه كفر وإما لاحق به ظاهرا أيضا لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن الحامل قد تحيض وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة وورد أنه كفر إن غلب على ظنه أنه منه أو استوى الأمران بأن ولدت لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة بل يلحقه بحكم الفراش كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقا إن أمكن كونه منه ولا ينتقي منه إلا بللعان والنفي تارة يجب وتارة يحرم وتارة يجوز ولاعبرة بإقرار المرأة بالزنا وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته .

إعانة الطالبين – (ج 3 / ص 327)

(قوله: لا مخلوقة من ماء زناه) أي لا يحرم نكاح مخلوقه من ماء زناه: إذ لا حرمة لماء الزنا لكن يكره نكاحها خروجا من خلاف الامام أبي حنيفة رضي الله عنه.ومثل المخلوقة من ماء الزنا المخلوقة من ماء استمنائه بغير يد حليلته والمرتضعة بلبن الزنا، وإن أرضعت المرأة بلبن زنا شخص بنتا صغيرة حلت له، ولا يقاس على ذلك المرأة الزانية، فإنها يحرم عليها ولدها بالاجماع.والفرق أن البنت انفصلت من الرجل وهي نطفة قذرة لا يعبأ بها، والولد

انفصل من المرأة وهو إنسان كامل

[4] مصنف ابن أبي شيبة – (ج 8 / ص 374(

(21) مسألة النكاح بغير ولي (1) حدثنا معاذ بن معاذ قال أخبرنا ابن جريح عن سليمان بن موسى عن الزهري عن عروة عن عائشة قالت : قال رسول الله (ص) : (أيما امرأة لم ينكحها الولي أو الولاة فنكاحها باطل – قالها ثلاثا – فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب منها ، فإن تشاجروا فإن السلطان ولي من لا ولي له).

[5] بغية المسترشدين ص 249 – 250

( مسئلة ) ملخصة مع زيادة من الإكسير العزيز للشريف محمد بن أحمد عنقاء في حديث الولد للفراش الخ إذا كانت المرأة فراشا لزوجها أو سيدها فأتت بولد من الزنا كان الولد منسوبا لصاحب الفراش لا إلى الزاني فلا يلحقه الولد ولا ينسب إليه ظاهرا ولا باطنا وإن استلحقه ومن هنا يعلم شدة ما اشتهر أنه إذا زنى شخص بإمرأة وأحبلها تزوجها واستلحق الولد فورثه وورثه زاعما سترها وهذا من أشد المنكرات الشنيعة التي لا يسع أحدا السكوت عنها فإنه خرق للشريعة ومنابذة لأحكامها ومن لم يزله مع قدرته بنفسه وماله فهو شيطان فاسق ومداهن منافق وأما فاعله فكاد يخلع ربقة الإسلام لأنه قد أعظم العناد لسيد الأنام مع ما ترتب على فعله من المنكرات والمفاسد منها حرمان الورثة وتوريث من لا شيء له مع تخليد ذلك في البطون بعده ومنها أنه صير ولد الزنا باستلحاقه كابنه في دخوله على محارم الزاني وعدم نقض الوضوء بمسهن أبدا ومنها ولايته وتزويجه نساء الزاني كبناته وأخوته ومن له عليها ولاية من غير مسوغ فيصير نكاحا بلا ولي فهذه أعظم وأشنع إذ يخلد ذلك فيه وفي ذريته ويله فما كفاه أن ارتكب أفحش الكبائر حيث زنى حتى ضم إلى ذلك ما هو أشد حرمة منه وأفحش شناعة وأي ستر وقد جاء شيئا فريا وأحرم الورثة وأبقاه على كرور الملوين وكل من استحل هذا فهو كافر مرتد خارج عن دين الإسلام فيقتل وتحرق جيفته أو تلقى للكلاب وهو صائر إلى لعنة الله وعذابه الكبير فيجب مؤكدا على ولاة الأمور زجرهم عن ذلك وتنكيلهم أشد التنكيل وعقابهم بما يروعهم وقد علم بذلك شدة خطر الزنا وأنه من أكبر الكبائر ( مسئلة ي ) حملت إمرأة وولدت ولم تقر بالزنا لم يلزمها الحد إذ لا يلزم الحد إلا ببينة أو إقرار أو لعان زوج أو علم السيد بالنسبة إلى قنة إذ قد توطأ المرأة بشبهة أو وهي نائمة أو سكرانة بعذر أو مجنونة أو مكرهة أو تستدخل منيا من غير إيلاج ونحو ذلك فتحبل منه ولا يوجب حدا للشبهة فعلم أن كل امرأة حملت وأتت بولد إن أمكن لحوقه بزوجها لحقه ولم ينتف عنه إلا باللعان وإن لم يكن كأن طالت غيبة الزوج بمحل لا يمكن اجتماعهما عادة كان حكم الحمل كالزنا بالنسبة لعدم وجوب العدة وجوز انكاحها وطئها وكالشبهة بالنسبة لدرء الحد والقذف واجتناب سوء الظن نعم إن كانت قليلة الحياء والتقوى كثيرة الخلوة بالأجانب والتزين لهم وتحدث الناس بقذفها عزرها الإمام بما يزجر أمثالها عن هذا الفعل

Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat berbeda tentang hukum menikahi wanita pezina :

1. Mutlak tidak sah

Didukung oleh Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing satu riwayat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan Bashri (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah 7/518, Tafsir al-Alusi 13/326). Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3, yakni

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

2. Mutlak sah

Didukung oleh asy-Syafi’ie dan madzhabnya (al-Hawi al-Kabir 9/497-498). Kalangan Syafi’iyah berargumen pada ayat 24 QS. An-Nisa:

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ

“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”

Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi. Dengan demikian selain wanita yang telah disebutkan halal untuk dinikahi, termasuk wanita yang berzina. Dikuatkan dengan sabda Nabi SAW:

لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ

“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/menjadikan mahram pada (orang) yang halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi).

Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya.

Sedangkan mengenai Surat an-Nur ayat 3, al-Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494) menyebut ada tiga takwilan terhadap ayat ini:

- Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul, yakni ketika ada seorang laki-laki meminta izin Rasulullah akan wanita pelacur bernama Ummu Mahzul.

- Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan ‘bersetubuh’, sehingga maksud ayat tersebut: “Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh melainkan (dengan) perempuan yang berzina…dst.”

- Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh oleh QS. An-Nisa ayat 3:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”

3. Sah dengan syarat selama menikah tidak berhubungan badan dengan istri sampai dia melahirkan

Didukung oleh Abu Hanifah dalam satu riwayat (asy-Syarh al-Kabir 7/502-503, al-Hawi al-Kabir 9/497-498).

Abu Hanifah berargumen meskipun sah dinikahi, tapi tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan. Termaktub dalam hadits:

لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ

“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

4. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan (istibra’)

Didukung oleh Rabi’ah, Sufyan Tsauri, Malik, Auza’ie, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf, dan Abu Hanifah dalam riwayat yang lain (al-Hawi al-Kabir 9/497-498, asy-Syarh al-Kabir 7/502-503). Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki iddah sehingga haram dinikahi sebelum selesai iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq ayat 4:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.”

Disebutkan juga dalam hadits:

أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرَ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ

“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan tidak juga pada wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ad-Darimi).

5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’ plus telah bertaubat

Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, Tafsir Ibnu Katsir 6/9-10).

Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan bahwa sesuai bunyi terakhir ayat 3 surat An-Nur, ‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’, keharaman menikahi pezina diperuntukkan bagi orang mukmin (yang sempurna). Sehingga ketika telah bertaubat dari zina leburlah dosa, kembali menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan hukum haram baru bisa terhapus. Sebagaimana hadits:

التائب من الذنب كمن لا ذنب له

“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).

Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya telah bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475).

Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menzinai ataupun orang lain. Dari sudut pandang Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak ada kehormatan apapun yang perlu dijaga seperti percampuran nasab. Dari perspektif ulama lainnya karena telah disyaratkan tidak adanya hubungan badan.  Tersebut dalam Bughyah :

(مسألة : ي ش) : يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة.

الكتاب : بغية المسترشدين ص419

Juga dalam Mughni Ibnu Qudamah :

فصل : وإذا وجد الشرطان حل نكاحها للزاني وغيره

[ المغني - ابن قدامة ] ج7 ص518

Jadi jika melihat kembali pada kasus awal, apakah nikahnya harus diulang ? Maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah dan satu riwayat Abu Hanifah nikahnya telah sah sejak awal. Wallahu a’lam

HUKUM TALAK VIA SMS

 

HUKUM TALAK VIA SMS
 



Deskripsi masalah :

Seorang suami mencerai istrinya dengan menggunakan kalimat talak yang shorih (jelas). Kalimat talak tersebut ia sampaikan menggunakan alat elektronik berupa ponsel via SMS. Karena SMS berisi kalimat talak yang ia kirimkan kepada istrinya itu tertunda pengirimannya (pending) akibat sinyal yang tidak bagus atau sebab lainnya, ia mengirimnya lagi dengan maksud supaya cepat terkirim. Saat sinyal handphone sudah bagus, sang istri menerima SMS dari suaminya sebanyak dua kali.

Pertanyaan:

a. Apakah talak via SMS itu dianggap sah (jatuh talak) ? Dan
apa saja persyaratan sahnya talak via SMS tersebut ?

b. Dalam kasus diatas berapakah hitungan talak yang dianggap
sah ?

 

Jawaban:

a. Sah dengan syarat niat talak, atau dilafazkan saat menulis atau sesudahnya.
Karena talak dengan tulisan termasuk kinayah.
Perlu diketahui bahwa talak dengan tulisan tidak syarat terkirim kepada istri .

Keterangan, dari kitab:

1. Fat-hul Mu’in (I’anatut Thalibin juz IV halaman 16, maktabah syamilah)

فَرْعٌ لَوْ كَتَبَ صَرِيْحَ طَلَاقٍ أَوْ كِنَايَتَهُ وَلَمْ يَنْوِ إِيْقَاعَ الطَّلَاقِ فَلَغْوٌ مَا لَمْ يَتَلَفَّظْ حَالَ الْكِتَابَةِ أَوْ بَعْدَهَا بِصَرِيْحَ مَا كَتَبَهُ نَعَمْ يُقْبَلُ قَوْلُهُ أَرَدْتُ قِرَاءَةَ الْمَكْتُوْبِ لَا الطَّلَاقَ

2.Hasyiyah Al-Jamal ‘Alaa Syarhil Manhaj juz 18 halaman 138-142, maktabah syamilah, 4/332-333, cet. Daar Ihya at Turats al ‘Arabi, Beirut:

( فَرْعٌ ) كَتَبَ أَنْتِ أَوْ زَوْجَتِيْ طَالِقٌ وَنَوَى الطَّلَاقَ طَلُقَتْ ، وَإِنْ لَمْ يَصِلْ كِتَابُهُ إلَيْهَا ؛ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ طَرِيْقٌ فِيْ إِفْهَامِ الْمُرَادِ كَالْعِبَارَةِ وَقَدْ قُرِنَتْ بِالنِّيَّةِ ، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ لَمْ تَطْلُقْ ؛ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ تَحْتَمِلُ النَّسْخَ وَالْحِكَايَةَ وَتَجْرِبَةَ الْقَلَمِ وَالْمِدَادِ وَغَيْرِهَا

3. al-Muhadzdzab juz II halaman 83, maktabah syamilah:

فَصْلٌ إِذَا كَتَبَ طَلَاقَ امْرَأَتِهِ بِلَفْظٍ صَرِيْحٍ وَلَمْ يَنْوِ لَمْ يَقَعْ اَلطَّلَاقُ لِأَنَّ الْكِتَابَةَ تَحْتَمِلُ إِيْـقَاعَ الطَّلَاقِ وَتَحْتَمِلُ امْتِحَانَ الْخَطِّ فَلَمْ يَقَعْ اَلطَّلَاقُ بِمُجَرَّدِهَا وَإِنْ نَوَى بِهَا الطَّلَاقَ فَفِيْهِ قَوْلَانِ قَالَ فِي الْإِمْلَاءِ لَا يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ لِأَنَّهُ فِعْلٌ مِمَّنْ يَقْدِرُ عَلَى الْقَوْلِ فَلَمْ يَقَعْ بِهِ الطَّلَاقُ كِالْإشَارَةِ وَقَالَ فِي الْأُمِّ هُوَ طَلَاقٌ وَهُوَ الصَّحِيْحُ لِأَنَّهَا حُرُوْفٌ يُفْهَمُ مِنْهَا الطَّلَاقُ فَجَازَ أَنْ يَقَعَ بِهَا الطَّلَاقُ كَالنُّطْقِ

b.Talak dihitung SATU, karena yang kedua tidak diniati talak, tujuannya hanya supaya cepat terkirim

Keterangan, dari kitab:

3. Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra juz IV halaman 159 s/d 161, maktabah syamilah:

فَإِنْ لَمْ يَنْوِهِ بِهِ لَمْ يَقَعْ بِطَالِقًا ( ( ( بِطَلَاقِهِ ) ) ) شَيْءٌ لِأُمُوْرٍ مِنْهَا…… وَمِنْهَا أَنَّ الْإِسْنَوِيَّ قَيَّدَ قَوْلَ الشَّيْخَيْنِ فِيْ قَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ طَالِقٌ طَالِقٌ يَقَعُ بِهِ ثَلَاثٌ مَا لَمْ يَقْصِدْ بِهِ التَّأْكِيْدَ بِمَا إذَا رَفَعَ بِخِلَافِ مَا إذَا سَكَّنَ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمَا عَنِ الْعَبَّادِيِّ قَالَ فِي الْأُمِّ إذَا قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ طَالِقًا وَقَعَ طَلْقَةٌ وَسُئِلَ عَنْ مُرَادِهِ بِقَوْلِهِ طَالِقًا فَإِنْ قَالَ أَرَدْتُ بِهِ الْحَالَ طَلُقَتْ ثَانِيَةً لِأَنَّ الْحَالَ فِيْ مَعْنَى الصِّفَةِ فَكَأَنَّهُ قَالَ أَنْتِ طَالِقٌ بَعْدَ تَقَدُّمِ طَلْقَةٍ عَلَيْكِ وَإِنْ قَالَ أَرَدْتُ بِهِ طَلْقَةً أُخْرَى وَقَعَتْ ثَانِيَةً أَيْضًا كَقَوْلِهِ أَنْتِ طَالِقٌ أَنْتِ طَالِقٌ وَإِنْ قَالَ أَرَدْتُ بِهِ التَّأْكِيْدَ وَإِفْهَامَ الْأُوْلَى قُبِلَ مِنْهُ

2. Bughyatul Mustarsyidin halaman 474, maktabah syamilah (halaman 225, cetakan Al-Alawiyyah):

(مَسْأَلَةٌ : ك) : كَرَّرَ صَرَائِحَ الطَّلَاقِ أَوْ كِنَايَاتِهِ وَلَوْ مَعَ اخْتِلَافِ أَلْفَاظِهِ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثِ مَرَّاتٍ ، كَأَنْتِ طَالِقٌ طَلَّقْتُكِ أَنْتِ مُطَلَّقَةٌ , أَوْ أَنْتِ طَالِقٌ مُفَارَقَةٌ مُسَرَّحَةٌ ، أَوْ أَنْتِ بَائِنٌ اِعْتَدِّيْ اُخْرُجِيْ ، فَإِنْ قَصَدَ التَّأْكِيْدَ فَوَاحِدَةٌ ، وَإِنْ قَصَدَ الْاِسْتِئْنَاف َ أَوْ أَطْلَقَ تَعَدَّدَ

HUKUM GADAI SAWAH

 HUKUM GADAI SAWAH



DESKRIPSI MASALAH
Sudah menjadi kebiasaan dimasyarakat, kalo menggadai sawah. Maka sawah milik peminjam uang diberikan ke pemberi pinjaman  dan di kelola pihak pemberi pinjaman semisal sampai kurung waktu 2 tahun/dijadikan jaminan istilahnya.
Setelah hutang dilunasi baru sawah tersebut dikembalikan ke pemiliknya.

PERTANYAAN
1. Bagaimana hukum praktek gadai demikian?

JAWABAN
Tafsil:
a. Jika diawal akad terjadi syarat untuk pemanfaatan sawah sebagai jaminan hutangnya (gadai), maka praktek gadai demikian tidak sah dan tidak diperbolehkan karena termasuk riba.

b. Jika tidak adanya syarat  dalam akad namun sudah menjadi tradisi tentang pemanfaatan barang gadai (jaminan), maka terjadi khilaf diantara ulama:
- Menurut pendapat al-Jumhur  (mayoritas ulama), boleh.
- Menurut pendapat imam al- Qofal, tidak boleh.

CATATAN
1. Praktek peminjaman uang yang  mengambil kemanfaatan seperti mengembalikan lebih dari nominal hutangnya atau mendapat kemanfaatan menggunakan barang yang dijadikan jaminan (gadai), maka termasuk riba yang diharomkan.

2. Pada dasarnya hak milik manfaat barang gadaian dimiliki oleh pemilik barang, bukan pemberi hutang. Maka pemanfaatan barang gadaian oleh orang lain harus seizin pemiliknya.

3. Praktek yang aman dari permasalahan gadai sawah seperti dalam deskripsi diantaranya adalah:
- Pihak yang berhutang  meminjamkan sawah ke pemberi hutang untuk dimanfaatkan (akad i'aroh) dan bukan atas nama jaminan karena telah meminjam uang.
- Pihak yang berhutang sebelumnya bernazar ke pemberi hutang akan memberi kemanfaatan sawah jika memberinya hutang, praktek demikian sah menurut seikh at-Thombadawi.

REFERENSI

١. إعانة الطالبين ج ٣ ص ٣٥٣
( و ) جاز لمقرض ( نفع ) يصل له من مقترض كرد الزائد قدرا أو صفة والأجود في الرديء ( بلا شرط ) في العقد بل يسن ذلك لمقترض…. وأما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا
( قوله ففاسد ) قال ع ش ومعلوم أن محل الفساد حيث وقع الشرط في صلب العقد أما لو توافقا على ذلك ولم يقع شرط في العقد فلا فساد

٢. [نووي الجاوي ,نهاية الزين ,ص ٢٤٢ ]
وَلَا يجوز قرض نقد أَو غَيره إِن اقْترن بِشَرْط جر نفع مقرض كرد زِيَادَة أورد جيد عَن رَدِيء لخَبر فضَالة بن عبيد رَضِي الله عَنهُ كل قرض جر مَنْفَعَة فَهُوَ رَبًّا أَي كل قرض شَرط فِيهِ مَا يجر إِلَى الْمقْرض مَنْفَعَة فَهُوَ رَبًّا فَإِن فعل ذَلِك فسد العقد حَيْثُ وَقع الشَّرْط فِي صلب العقد أما لَو توافقا على ذَلِك وَلم يَقع شَرط فِي العقد فَلَا فَسَاد وَمن شَرط الْمَنْفَعَة الْقَرْض لمن يسْتَأْجر ملكه أَي مثلا بِأَكْثَرَ من قِيمَته لأجل الْقَرْض إِن وَقع ذَلِك شرطا فِي صلب العقد إِذْ هُوَ حِينَئِذٍ حرَام إِجْمَاعًا وَإِلَّا كره عندنَا وَحرم عِنْد كثير من الْعلمَاء وَجَاز فِي الْقَرْض شَرط رهن وَشرط كَفِيل وَلَا بُد من تعيينهما وَشرط إِقْرَار أَو إِشْهَاد عِنْد حَاكم لِأَن هَذِه الْأُمُور توثقات لَا مَنَافِع زَائِدَة

٣. الأشباه والنظائر ج ١ ص ١٩٢
و منها : لو عم في الناس اعتياد إباحة منافع الرهن للمرتهن فهل ينزل منزلة شرطه حتى يفسد الرهن قال الجمهور : لا و قال القفال : نعم

٤. [مجموعة من المؤلفين، الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي، ١٢٨/٧]
ب- انتفاع المرتهن بالمرهون:
علمنا أن عقد الرهن يُقصد به التوثق للدْين، وذلك بثبوت يد المرتهن على العين المرهونة، ليمكن بيعها واستيفاء الدَّيْن من قيمتها عند تعذّر وفائه على الراهن.
وعليه: فإن عقد الرهن لا يعني امتلاك المرتهن للعين المرهونة، ولا استباحته لمنفعة من منافعها، بل تبقى ملكية رقبتها ومنافعها للراهن، المالك الأصلي لها، وبالتالي: فليس للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة بدون إذن الراهن مطلقاً، فإذا فعل ذلك كان متعدِّياً وضامناً للمرهون.
وهل له أن ينتفع به إذا أذن له الراهن بذلك؟
ينبغي ان نفرِّق هنا بين أن يكون الإذن بالانتفاع لاحقاً لعقد الرهن وبعد تمامه ودون شرط له، وبين أن يكون مع العقد ومشروطاً فيه:
فإن كان مع العقد ومشروطاً فيه كان شرطاً فاسداً، ويفسد معه عقد الرهن على الأظهر، وذلك لأنه شرط يخالف مقتضى العقد، إذ مقتضى العقد التوثّق - كما علمت - لا استباحة المنفعة، وكذلك هو شرط فيه منفعة لأحد المتعاقِدَيْن وإضرار بالآخر، إذ به منفعة للمرتهن وإضرار بمصلحة الراهن.
ومقابل الأظهر: أن الشرط فاسد لا يُلتفت إليه، والعقد صحيح، وقول ضعيف.
وأما إذا لم يكن الانتفاع للمرتهن مشروطاً في العقد فهو جائز، ويملكه المرتهن، لأن الراهن مالك، وله أن يأذن بالتصرّف في ملكه بما لا يضيّع حقوق الآخرين فيه، وقد أذن له بذلك، وليس في ذلك تضييع لحقه في المرهون، لأنه بانتفاعه به لا يخرج من يده، ويبقى محتبساً عنده لحقه.

٥. [الرملي، شمس الدين، نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج، ٢٤٤/٤]
(وَيَجُوزُ أَنْ) (يَسْتَعِيرَ شَيْئًا لِيَرْهَنَهُ) بِدَيْنِهِ بِالْإِجْمَاعِ وَإِنْ كَانَتْ الْعَارِيَّةُ ضِمْنًا كَمَا لَوْ قَالَ لِغَيْرِهِ: ارْهَنْ عَبْدَك عَلَى دَيْنِي

٦. [البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٤٢١/٢]
وقال شيخ مشايخنا العلامة المحقق الطنبداوي، فيما إذا نذر المديون للدائن منفعة الارض المرهونة مدة بقاء الدين في ذمته: والذي رأيته لمتأخري أصحابنا اليمنيين ما هو صريح في الصحة، وممن أفتى بذلك شيخ الاسلام محمد بن حسين القماط والعلامة الحسين بن عبد الرحمن الاهدل. (والله أعلم).

Habiby Hasbullah Suhaimi Qusyairi #fypfoto Ngaji Fiqih semua orang #bahtsulmasail #pengikut

AMALAN SETELAH SHALAT JUM'AT

 

   AMALAN SETELAH SHALAT JUM'AT

 

Disunnahkan setelah salam daripada shalat jum'at dan masih dalam posisi duduk tawaruk (Tahiyyat akhir) supaya membaca:

1. Surah Al-Fatihah sebanyak 7X dikarenakan dalam satu hadist Nabi Saw bersabda : siapa saja yang membaca surah al-fatihah maka Allah Swt akan memeliharanya, agamanya, dunianya, keluarganya dan anaknya.

2. Surah Al-Ikhlas, Al-falaq dan An-nas sebanyak 7X dikarenakan dalam satu hadist Nabi Saw bersabda : siapa saja setelah shalat jum'at membaca surah Al-Ikhlas, Al-falaq dan An-nas sebanyak 7X maka dia akan dilindungi oleh Allah Swt daripada keburukan hingga Jum'at selanjutnya.

3. Membaca do'a di bawah ini sebanyak 7X,

اَللَّهُمَّ يَا غَنِيُّ يَا حَمِيْدُ يَا مُبْدِئُ يَا مُعِيْدُ يَا رَحِيْمُ يَا وَدُوْدُ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ وَبِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ

Dikarenakan Nabi Saw bersabda : siapa saja setelah membaca surah Al-Ikhlas, Al-falaq dan An-nas dilanjutkan dengan membaca do'a tersebut maka terhadap dia akan diberikan kekayaan oleh Allah Swt dan diberikan rizki daripada sekira tidak disangka.

Di dalam riwayat yang lain Nabi Saw bersabda : siapa saja pada hari jum'at membaca,

أَللَّهُمَّ أَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ وَبِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ

Sebanyak 70X maka tidak akan melewati dua jum'at sehingga diberikan kekayaan oleh Allah Swt.

4. Membaca do'a di bawah ini sebanyak 100X

سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ

Dikarenakan Nabi Saw bersabda : siapa saja yang membaca do'a tersebut sebanyak 100X InsyaAllah akan diampuni baginya 100 ribu dosa, diampuni dosa kedua orang tuanya 24 ribu dosa.

5. Membaca sya'ir di bawah ini sebanyak 5X

إِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً .  وَلاَ أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ

*فَهَبْ لِيْ تَوْبَة وَاغْفِرْ ذُنُوْبِيْ .  فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ

Dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab As-Sya'rani : Sesungguhnya siapa saja yang rutinitas membaca dua syair tersebut pada setiap hari Jum'at, dia akan diwafatkan oleh Allah Swt dalam keadaan islam tanpa diragukan sama sekali.

6. Apabila ingin keluar dari mesjid maka berdiri pada pintu mesjid, membaca ayat dan do'a di bawah ini sebanyak 1X

أَللَّهُمَّ إِنِّي أَجَبْتُ دَعْوَتَكَ وَصَلَّيْتُ فَرِيْضَتَكَ وَانْتَشَرْتُ كَمَا أَمَرْتنِي فَارْزُقْنِي مِنْ فَضْلِكَ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَقَدْ قُلْتَ وَقَوْلُكَ اْلحَقُّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

kitab Hasyiah I'anatut Thalibin, Halaman : 92, Cetakan : Al-Haramai'n, Jilid : 2

Bantu Siapa pun yang Membutuhkan

  Bantu Siapa pun yang Membutuhkan الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْ...