Buku Individu Hasil Karya Kepala Madrasah

Karya perdana Kepala Madrasah yang merupakan hasil Pelatihan Menulis Buku yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Pengembangan Profesi Guru (P3G) Jawa Timur dan Penerbit Delta Pustaka.

Buku Kolaborasi Hasil Karya Kepala Madrasah

Karya Kepala MI Nurul Jannah NW Ampenan di Musim Pandemi Covid-19 kolaborasi dengan Kepala MIN 2 Kota Mataram.

14 Buku Kolaborasi Hasil Karya Kepala Madrasah

14 Buku ini merupakan Hasil Karya Kepala Madrasah yang melakukan Kolaborasi dengan bapak dan ibu Guru Se-Indonesia.

Kepala Madrasah Menjadi Pemateri dalam Sosialisasi 4 Pilar MPR RI

Sosialisasi 4 Pilar MPR-RI yang dilaksanakan oleh komunitas belajar atas prakarsa Kepala SMPN 10 Mataram, Kepala Madrasah mendapat tugas untuk menjadi nara sumber salah satu empat pilar tersebut.

Pengolahan Bubur Kertas (MoU dengan POSYANTEK AMPENAN)

Dalam rangka memperluas jaringan dan membekali siswa-siswi dengan skill yang memadai terutama dalama menghadapi perkembangan zaman yang semakin rumit dan sulit, Kepala Madrasah membuat MoU dengan POSYANTEK Ampenan untuk melatih membuat aneka kerajinan dari bubur kertas.

Imtaq Bersama (Setiap Hari Selasa-Kamis)

Untuk mempersiapkan generasi yang kuat iman dan islamnya, maka Kepala Madrasah bersama bapak-ibu guru memprogramkan kegiatan imtaq bersama yang diawali dengan pembacaan shalawat Nahdlatain, asma'ul husna, juz 'amma, latihan pidato, tausiyah, doa, dan diakhiri dengan shalat duha berjamaah.

Latihan Manasik Haji (Program Tahunan)

Sebagai langkah awal untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima, Kepala Madrasah bersama bapak-ibu guru membuat program tahunan, yakni melakukan latihan manasik haji di kantor embarkasi Lombok dengan harapan mudah-mudahan memiliki ilmu yang mumpuni dan segera memiliki nasib ke baitullah al haram.

Upacara Hari Santri (Kegiatan Tahunan Siswa)

Sebagai warga negara yang nasionalis, Kepala Madrasah bersama warga madrasah melakukan upacara bendera setiap hari senin dan hari-hari besar nasional terutama hari santri yang merupakan hari kebanggaan bagi santri pondok pesantren seluruh Indonesia.

Upacara Hari Santri (Kegiatan Tahunan Guru)

Sebagai warga negara yang nasionalis, Kepala Madrasah bersama warga madrasah melakukan upacara bendera setiap hari senin dan hari-hari besar nasional terutama hari santri yang merupakan hari kebanggaan bagi santri pondok pesantren seluruh Indonesia.

Lomba Calistung MI Se-Kota Mataram

Untuk mengasah bakat, minat, dan ilmu pengetahuan yang diperoleh, siswa-siswi unjuk gigi dalam setip event lomba, baik yang diadakan oleh FKKMI, KKM, maupun lembaga/instansi lainnya.

Rabu, 26 Maret 2025

ZAKAT KE MASJID / MADRASAH, BOLEHKAH?

 

ZAKAT KE MASJID / MADRASAH, BOLEHKAH?
Pertanyaan:
Mau bertanya ustadz Hurnawijaya Al-Khairy, bagaimana hukumnya memberikan zakat pada masjid, mushola, atau madrasah?
Apakah boleh?
Di tengah masyarakat banyak mengeluarkan zakatnya ke sana, tapi tidak disebutkan dalam 8 Mustahik di atas.
Terimakasih.
(Dari : Aeni, Rukyatul Aeni dll)
Jawaban:
Bismillah wabihamdihi.
Wassholatu wassalamu 'ala Sayyidina Rasulillah. Wa ba'du. Harap dibaca sampai akhir gih. Kesimpulan hukum ada di akhir.
Zakat termasuk zakat fitrah merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap Muslim yang telah memenuhi syarat. Dalam penyaluran zakat, Islam telah menetapkan golongan yang berhak menerimanya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Namun, muncul pertanyaan apakah zakat boleh disalurkan ke masjid atau madrasah?
Allah SWT telah menetapkan delapan golongan yang berhak menerima zakat dalam firman-Nya:
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِؕ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berhutang, untuk (dibelanjakan) di jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 60)
Berdasarkan ayat di atas, masjid dan madrasah tidak disebutkan secara langsung sebagai salah satu golongan penerima zakat. Namun, ada beberapa pembahasan tentang apakah keduanya bisa masuk dalam kategori "fi sabilillah" (di jalan Allah).
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah fi sabilillah:
1. Pendapat Jumhur Ulama (Mayoritas Ulama Fikih)
- Madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i berpendapat bahwa fi sabilillah secara khusus merujuk pada jihad fisabilillah, yakni para mujahidin yang berperang di jalan Allah.
- Oleh karena itu, menurut pendapat ini, zakat tidak boleh diberikan kepada masjid atau madrasah karena bukan bagian dari mustahiq zakat.
2. Pendapat Ulama Kontemporer
- Sebagian ulama seperti Syaikh Yusuf Al-Qaradawi dan beberapa ulama madzhab Imam Hambali memperluas makna fi sabilillah mencakup segala hal yang berhubungan dengan kepentingan Islam, termasuk pembangunan masjid dan madrasah bahkan thalabul ilmi dan takfin al-janazah.
- Dengan demikian, menurut pendapat ini, zakat boleh disalurkan ke masjid atau madrasah jika digunakan untuk kepentingan dakwah, pendidikan Islam, dan kebutuhan umat.
Meskipun mayoritas ulama tidak memperbolehkan untuk mentasharrufkan zakat ke pembangunan/pemberdayaan Masjid/Madrasah eberapa ulama mu’tabar (terkemuka) mendukung pendapat bahwa zakat boleh digunakan untuk kepentingan masjid dan madrasah, dengan dasar bahwa fi sabilillah memiliki makna luas. Berikut diantaranya:
1. Imam Al-Kasani (Mazhab Hanafi)
Imam Al-Kasani dalam kitab Bada’i As-Shana’i menyatakan:
وَيَدْخُلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كُلُّ مَا هُوَ مِنْ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ، وَمِنْهُ بِنَاءُ الْمَسَاجِدِ وَالْمَدَارِسِ وَسَبِيلِ الْعِلْمِ
"Termasuk dalam kategori fi sabilillah adalah segala sesuatu yang menjadi kemaslahatan kaum Muslimin, seperti pembangunan masjid, madrasah, dan penyebaran ilmu." (Bada’i As-Shana’i fi Tartib Asy-Syara’i, Juz 2, hlm. 44)
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah memperluas makna fi sabilillah, sebagaimana beliau mengatakan:
وَإِنَّ سَبِيلَ اللَّهِ لَيْسَ مَقْصُورًا عَلَى الْغُزَاةِ فَقَطْ، بَلْ يَدْخُلُ فِيهِ كُلُّ مَا كَانَ فِي مَصْلَحَةِ الدِّينِ
"Sesungguhnya fi sabilillah tidak terbatas pada jihad perang saja, tetapi mencakup segala sesuatu yang menjadi kepentingan agama." (Majmu’ al-Fatawa, Juz 28, hlm. 276)
Madrasah dan masjid adalah bagian dari kepentingan agama yang berperan dalam mendidik umat dan menyebarkan ajaran Islam.
3. Syaikh Yusuf Al-Qaradawi
Dalam kitabnya Fiqh Az-Zakah, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi menyatakan:
وَيَجُوزُ إِنْفَاقُ الزَّكَاةِ فِي بِنَاءِ الْمَدَارِسِ الدِّينِيَّةِ وَالْمُسْتَشْفَيَاتِ وَكُلِّ مَا يَتَعَلَّقُ بِمَصَالِحِ الْإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِينَ
"Diperbolehkan menggunakan zakat untuk membangun madrasah agama, rumah sakit Islam, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan Islam dan kaum Muslimin." (Fiqh Az-Zakah, Juz 2, hlm. 707)
4. Fatwa Lembaga Fikih Islam OKI
Majma’ Fiqh Islami OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) dalam keputusan No. 8/2 tahun 1988 menyatakan bahwa:
يَجُوزُ صَرْفُ الزَّكَاةِ لِكُلِّ مَا يُسَاهِمُ فِي نُصْرَةِ الدِّينِ وَتَعْلِيمِ الشَّرِيعَةِ وَالدَّعْوَةِ إِلَى اللَّهِ
"Boleh menyalurkan zakat untuk segala sesuatu yang berkontribusi dalam menolong agama, mengajarkan syariat, dan berdakwah kepada Allah."
Dalam mazhab Syafi’i yang dianut mayoritas Muslim Indonesia, ada perbedaan pandangan mengenai apakah zakat boleh disalurkan ke masjid dan madrasah. Mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa zakat harus diberikan kepada individu dari delapan golongan yang disebutkan dalam QS. At-Taubah: 60. Namun, sebagian ulama Syafi’iyah kontemporer memperluas makna fi sabilillah sehingga mencakup pembangunan masjid dan madrasah.
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab menjelaskan bahwa fi sabilillah dalam QS. At-Taubah: 60 pada dasarnya merujuk kepada jihad perang, tetapi ada kemungkinan makna yang lebih luas.
وَأَمَّا سَبِيلُ اللَّهِ فَهُوَ الْغُزَاةُ الَّذِينَ لَا دِيَةَ لَهُمْ فَيُعْطَوْنَ مِنْهَا مَا يَكْفِيهِمْ فِي غَزْوِهِمْ، وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: يَدْخُلُ فِيهِ كُلُّ مَا يَتَعَلَّقُ بِمَصَالِحِ الْإِسْلَامِ
"Adapun fi sabilillah, maka ia adalah para mujahidin yang tidak memiliki pendapatan sendiri, sehingga mereka diberikan zakat yang mencukupi untuk jihad mereka. Namun, sebagian ulama kami (mazhab Syafi’i) mengatakan bahwa fi sabilillah mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan Islam." (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 6, hlm. 190)
Berdasarkan ini, ada sebagian ulama Syafi’iyah yang membolehkan penggunaan zakat untuk kepentingan dakwah dan penyebaran ilmu, termasuk pembangunan madrasah dan masjid.
Selain itu, Imam Syihabuddin Ar-Ramli, salah satu ulama besar dalam mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa fi sabilillah dapat mencakup kebutuhan-kebutuhan lain yang mendukung tegaknya agama Islam, seperti pendidikan dan dakwah.
وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ هُوَ كُلُّ مَا يُقَوِّي أَمْرَ الدِّينِ وَيُسَاعِدُ عَلَى تَقْوِيَةِ شَوْكَةِ الْإِسْلَامِ
"Fi sabilillah adalah segala sesuatu yang menguatkan urusan agama dan membantu memperkokoh Islam."
(Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz 7, hlm. 149).
Ini menunjukkan bahwa penggunaan zakat untuk kepentingan dakwah dan pendidikan agama dapat dibenarkan.
Begitu juga Imam Ibnu Hajar Al-Haitami
Dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan bahwa sebagian ulama memperluas makna fi sabilillah hingga mencakup hal-hal yang bermanfaat bagi agama Islam secara umum.
Beliau berkata:
وَقِيلَ يَدْخُلُ فِيهِ كُلُّ مَا يُعِينُ عَلَى نُصْرَةِ الدِّينِ وَإِعْلَاءِ كَلِمَةِ اللَّهِ تَعَالَى
"Dikatakan bahwa fi sabilillah mencakup segala sesuatu yang membantu kemenangan agama dan meninggikan kalimat Allah SWT." (Tuhfatul Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj, Juz 7, hlm. 286)
Berdasarkan uraian tersebut, terlihat perbedaan pendapat di kalangan para ulama terkait hukum menyalurkan zakat ke pemberdayaan Masjid/ madrasah. Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah fikih adalah hal yang wajar dan memiliki dasar ilmiah. Mengenai penyaluran zakat ke masjid dan madrasah, sebagian ulama membatasinya hanya pada individu tertentu, sementara sebagian lainnya memperluas cakupannya berdasarkan makna fi sabilillah. Karena kedua pendapat ini memiliki dasar yang kuat, maka diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk mengikuti pendapat yang lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan umat.
Dalam ilmu ushul fikih, ada kaidah yang berbunyi:
لَا إِنْكَارَ فِي مَسَائِلِ الِاجْتِهَادِ
"Tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah."
Artinya, jika suatu perkara masih dalam ranah ijtihad (penafsiran para ulama), maka seorang Muslim boleh mengikuti pendapat yang ia yakini lebih kuat, selama memiliki dasar yang sahih. Masalah penggunaan zakat untuk masjid dan madrasah adalah termasuk perkara ijtihadiyah karena ada perbedaan dalam menafsirkan makna fi sabilillah.
Dalam kaidah fikih lainnya disebutkan:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
"Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus berlandaskan kemaslahatan."
Hal inilah yang barangkali menjadi landasan dari Al-Maghfurlah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (Pendiri NWDI, NBDI dan NW) membolehkan penyaluran zakat untuk pembangunan madrasah/ Masjid, begitu juga AG. Prof. Dr. KH. M. Quraisy Shihab, MA juga Prof. UAS (Ustadz Abdul Shomad).
Jika dalam suatu komunitas atau daerah, masjid dan madrasah sangat membutuhkan dana untuk operasional dan pembangunan, sementara mustahiq zakat lainnya sudah tercukupi, maka menyalurkan zakat ke madrasah atau masjid bisa menjadi langkah yang lebih maslahat. Apalagi, masjid dan madrasah adalah pusat pendidikan Islam yang mendukung keberlanjutan dakwah.
KESIMPULAN HUKUM:
1. Meskipun mayoritas ulama tidak memperbolehkan penyaluran zakat ke masjid/madrasah, akan tetapi karena ada dalil dan pendapat ulama yang kuat, maka boleh mengamalkan pendapat ini tanpa merasa ragu.
2. Mengikuti pendapat yang lebih maslahat bagi umat dalam suatu kondisi tertentu adalah bagian dari prinsip fikih Islam. Hal ini juga menjadi dasar sebagian besar ulama kontemporer membolehkan penyaluran zakat ke masjid dan madrasah, dengan syarat digunakan untuk kepentingan dakwah, pendidikan Islam, dan kemaslahatan umat
3. Tidak ada pengingkaran dalam perkara ijtihadiyah, sehingga seorang Muslim boleh memilih pendapat yang lebih sesuai dengan kebutuhannya.
4. Zakat yang disalurkan ke masjid dan madrasah harus digunakan untuk kepentingan dakwah dan pendidikan Islam, bukan untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan syiar agama.
Dengan demikian, seorang Muslim yang ingin menyalurkan zakatnya ke masjid atau madrasah dapat melakukannya berdasarkan pendapat ulama yang membolehkan, selama memenuhi syarat dan niatnya benar.
Wallahu Ta'ala a'la wa a’lam Bisshawab
Cairo Egypt, 26 Ramadhan 1446 H

Selasa, 04 Maret 2025

TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN HAL 185 BAB PUASA PART 2

 TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN
HAL 185

BAB PUASA
PART 2

كتاب نهاية الزين
[نووي الجاوي]

فهرس الكتاب  باب الصوم
 
 
موافقتهم سَوَاء فِي أول الشَّهْر أَو آخِره

وَهَذَا أَمر مرجعه إِلَى طول الْبِلَاد وعرضها سَوَاء قربت الْمسَافَة أَو بَعدت وَلَا نظر إِلَى مَسَافَة الْقصر وَعدمهَا وَعلم أَنه مَتى حصلت الرُّؤْيَة فِي الْبَلَد الشَّرْقِي لزم رُؤْيَته فِي الْبَلَد الغربي دون عَكسه كَمَا فِي مَكَّة المشرفة ومصر المحروسة فَيلْزم من رُؤْيَته فِي مَكَّة رُؤْيَته فِي مصر لَا عَكسه لِأَن الْهلَال يرى غاربا وتكفي الْعَدَالَة الظَّاهِرَة وَلَو رَجَعَ عَن شَهَادَته بعد شروعهم فِي الصَّوْم أَو بعد حكم الْحَاكِم وَلَو قبل شروعهم فِي الصَّوْم لَزِمَهُم الصَّوْم وكل شهر اشْتَمَل على عبَادَة يثبت بِشَهَادَة الْعدْل الْوَاحِد بِالنّظرِ لِلْعِبَادَةِ وَذَلِكَ كرجب وَشَعْبَان ورمضان وشوال وَذي الْحجَّة وَيَكْفِي فِي الشَّهَادَة أشهد أَنِّي رَأَيْت الْهلَال

الرَّابِع ظن دُخُوله بِالِاجْتِهَادِ فِيمَن اشْتبهَ عَلَيْهِ رَمَضَان كَأَن كَانَ أَسِيرًا أَو مَحْبُوسًا
وللصوم شُرُوط لوُجُوبه وشروط لصِحَّته وأركان وَسنَن ومكروهات ومبطلات

أما شُرُوط وُجُوبه فَثَلَاثَة الْإِسْلَام والتكليف وَالْقُدْرَة على الصَّوْم كَمَا أَشَارَ إِلَى ذَلِك المُصَنّف بقوله (يجب صَوْم رَمَضَان على مُكَلّف مطيق لَهُ) وشروط صِحَّته أَرْبَعَة الْإِسْلَام والنقاء من الْحيض وَالنّفاس وَالْعقل وَالْوَقْت الْقَابِل للصَّوْم

(وفرضه) أَي أَرْكَان الصَّوْم اثْنَان الأول (نِيَّة) لَيْلًا (لكل يَوْم) ومحلها الْقلب وَيسْتَحب التَّلَفُّظ بهَا وَلَو نسي النِّيَّة لَيْلًا وطلع الْفجْر وَهُوَ نَاس لم يحْسب لَهُ ذَلِك الْيَوْم لَكِن يجب عَلَيْهِ الْإِمْسَاك رِعَايَة لحُرْمَة الْوَقْت
وَيسن فِي أول الشَّهْر أَن يَنْوِي صَوْم جَمِيعه وَذَلِكَ يُغني عَن تجديدها فِي كل لَيْلَة عِنْد الإِمَام مَالك فَيسنّ ذَلِك عندنَا لِأَنَّهُ رُبمَا نسي التبييت فِي بعض اللَّيَالِي فيقلد الإِمَام مَالِكًا وَيشْتَرط أَن يحضر فِي الذِّهْن صِفَات الصَّوْم مَعَ ذَاته ثمَّ يضم الْقَصْد إِلَى ذَلِك الْمَعْلُوم فَلَو خطر بِبَالِهِ الْكَلِمَات مَعَ جَهله مَعْنَاهَا لم يَصح

وَمن صِفَات الصَّوْم كَون الشَّهْر رَمَضَان وَإِن لم يحضر فِي الذِّهْن ذَلِك لم يحصل لَهُ الْيَوْم الأول وَلَا غَيره
(وَشرط لفرضه) أَي الصَّوْم من رَمَضَان وَلَو من صبي أَو غَيره كقضاء أَو كَفَّارَة أَو استسقاء أَمر بِهِ الامام أَو نذر (تبييت) للنِّيَّة لكل لَيْلَة وَلَو من أول اللَّيْل وَلَا يجب التبييت فِي نفل الصَّوْم بل تصح نِيَّته قبل الزَّوَال بِشَرْط أَن لَا يسبقها منَاف للصَّوْم
(وَتَعْيِين) فِي الْفَرْض الْمَنوِي كرمضان أَو نذر أَو قَضَاء أَو كَفَّارَة وَفِي نفل لَهُ سَبَب بِخِلَاف النَّفْل الْمُؤَقت كَصَوْم الْإِثْنَيْنِ وعرفة وعاشوراء وَأَيَّام الْبيض وَسِتَّة من شَوَّال فَلَا يشْتَرط فِيهِ التَّعْيِين لِأَن الصَّوْم فِي تِلْكَ الْأَيَّام منصرف إِلَيْهَا بل لَو نوى بِهِ غَيرهَا حصلت أَيْضا كتحية الْمَسْجِد لِأَن الْمَقْصُود وجود صَوْم فِيهَا وَيسْتَثْنى من وجوب التَّعْيِين مَا لَو كَانَ عَلَيْهِ قَضَاء رمضانين أَو صَوْم نذر أَو كَفَّارَة من جِهَات مُخْتَلفَة فَنوى صَوْم غَد عَن قَضَاء رَمَضَان أَو صَوْم نذر أَو كَفَّارَة جَازَ وَإِن لم يعين عَن قَضَاء أَيهمَا فِي قَضَاء رمضانين وَلَا نَوعه فِي الْبَاقِي لِأَنَّهُ كُله جنس وَاحِد وَلَو نوى صَوْم غَد وَهُوَ يَعْتَقِدهُ الْإِثْنَيْنِ فَكَانَ الثُّلَاثَاء أَو صَوْم رَمَضَان هَذِه السّنة وَهُوَ يعتقدها سنة ثَلَاث فَكَانَت سنة أَربع صَحَّ صَوْمه وَلَا عِبْرَة بِالظَّنِّ الْبَين خَطؤُهُ

 بِخِلَاف مَا لَو نوى صَوْم الثُّلَاثَاء لَيْلَة الْإِثْنَيْنِ وَلم يخْطر بِبَالِهِ صَوْم غَد أَو صَوْم رَمَضَان سنة ثَلَاث وَكَانَت سنة أَربع وَلم يخْطر بِبَالِهِ
-----------------------------------

TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN
HAL 185

BAB PUASA
PART 2

وَهَذَا أَمر مرجعه إِلَى طول الْبِلَاد وعرضها  , سَوَاء قربت الْمسَافَة أَو بَعدت , وَلَا نظر إِلَى مَسَافَة الْقصر وَعدمهَا

Mathla’ (Tempat Terbit dan Terbenamnya Bulan)

Penentuan wajibnya puasa berdasarkan perbedaan mathla' bergantung pada perbedaan garis bujur (panjang) dan garis lintang (lebar) suatu daerah, baik jaraknya dekat maupun jauh.

Hal ini tidak ada kaitannya dengan jarak safar (jarak yang membolehkan seseorang menjamak atau mengqasar shalat).

 وَعلم أَنه مَتى حصلت الرُّؤْيَة فِي الْبَلَد الشَّرْقِي لزم رُؤْيَته فِي الْبَلَد الغربي,  دون عَكسه ,  
 
 👉KOIDAH  PERBEDAAN MATHLA'

Jika hilal terlihat di daerah timur, maka secara otomatis hilal juga terlihat di daerah baratnya.

Bukan Sebaliknya, ( jika terlihat di daerah barat, belum tentu terlihat di daerah timurnya )

كَمَا فِي مَكَّة المشرفة ومصر المحروسة فَيلْزم من رُؤْيَته فِي مَكَّة رُؤْيَته فِي مصر ,  لَا عَكسه

Contoh: Jika hilal terlihat di Makkah, maka secara otomatis dianggap terlihat juga di Mesir, tetapi tidak sebaliknya.

لِأَن الْهلَال يرى غاربا ,

 Hal ini karena hilal terlihat saat terbenam, sehingga daerah yang lebih barat otomatis mengikutinya.

 وتكفي الْعَدَالَة الظَّاهِرَة

🔷PERSYARATAN KESAKSIAN

Keadilan lahiriah (adil secara lahir) sudah cukup dalam memberikan kesaksian.

وَلَو رَجَعَ عَن شَهَادَته بعد شروعهم فِي الصَّوْم أَو بعد حكم الْحَاكِم , وَلَو قبل شروعهم فِي الصَّوْم لَزِمَهُم الصَّوْم
 
Jika saksi kemudian mencabut kesaksiannya setelah masyarakat memulai puasa,  atau setelah hakim memutuskan masuknya Ramadan, walaupun masyarakat belum melaksanakan puasa, maka puasa tetap sah dan harus dilanjutkan.

Namun, jika saksi mencabut kesaksiannya sebelum masyarakat mulai berpuasa, mereka tidak wajib berpuasa.

وكل شهر اشْتَمَل على عبَادَة يثبت بِشَهَادَة الْعدْل الْوَاحِد بِالنّظرِ لِلْعِبَادَةِ,  وَذَلِكَ كرجب وَشَعْبَان ورمضان وشوال وَذي الْحجَّة وَيَكْفِي فِي الشَّهَادَة أشهد أَنِّي رَأَيْت الْهلَال

👉Kesaksian Satu Orang yang Adil

Setiap bulan yang mengandung ibadah, seperti Rajab, Syaban, Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, dapat ditetapkan masuknya dengan kesaksian satu orang yang adil, jika dilihat dari sisi ibadah yang berkaitan.

📌Dalam memberikan kesaksian, cukup dengan mengucapkan: "Saya bersaksi bahwa saya telah melihat hilal."

الرَّابِع ظن دُخُوله بِالِاجْتِهَادِ فِيمَن اشْتبهَ عَلَيْهِ رَمَضَان كَأَن كَانَ أَسِيرًا أَو مَحْبُوسًا.

Puasa Ramadan menjadi wajib dengan salah satu dari empat hal berikut:

4⃣"Yang keempat, orang yang menyangka masuknya (bulan Ramadhan) berdasarkan ijtihad dalam keadaan syubhat (ketidakjelasan) mengenai Ramadhan, seperti orang yang menjadi tawanan atau dipenjara."

وللصوم شُرُوط لوُجُوبه وشروط لصِحَّته وأركان وَسنَن ومكروهات ومبطلات

"Puasa memiliki syarat-syarat wajib, syarat-syarat sah, rukun-rukun, sunah-sunah, hal-hal yang makruh, dan hal-hal yang membatalkan (puasa)."

أما شُرُوط وُجُوبه فَثَلَاثَة:   الْإِسْلَام , والتكليف وَالْقُدْرَة على الصَّوْم .  كَمَا أَشَارَ إِلَى ذَلِك المُصَنّف بقوله (يجب صَوْم رَمَضَان على مُكَلّف مطيق لَهُ)

👉Syarat Wajib Puasa:
"Syarat wajib puasa ada tiga:
1⃣ Islam,
2⃣Taklif (baligh dan berakal), dan
3⃣ kemampuan untuk berpuasa.

Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh penulis dengan ucapannya: 'Wajib berpuasa Ramadhan bagi orang yang mukallaf (baligh dan berakal) serta mampu melaksanakannya.'"

 وشروط صِحَّته أَرْبَعَة:  الْإِسْلَام,  والنقاء من الْحيض وَالنّفاس,  وَالْعقل ,  وَالْوَقْت الْقَابِل للصَّوْم

👉. Syarat Sah Puasa:
"Syarat sah puasa ada empat:
1⃣ Islam,
2⃣Suci dari haid dan nifas,
3⃣Berakal, dan
4⃣ Waktu yang memungkinkan untuk berpuasa."

(وفرضه) أَي أَرْكَان الصَّوْم اثْنَان:  الأول (نِيَّة) لَيْلًا (لكل يَوْم) ومحلها الْقلب وَيسْتَحب التَّلَفُّظ بهَا .

"(Dan fardunya  puasa)," yaitu rukun-rukun puasa ada dua:

1. Yang pertama adalah niat di malam hari untuk setiap hari (puasa). Tempat niat adalah di dalam hati, namun disunahkan untuk melafalkannya.

وَلَو نسي النِّيَّة لَيْلًا وطلع الْفجْر وَهُوَ نَاس لم يحْسب لَهُ ذَلِك الْيَوْم ،   لَكِن يجب عَلَيْهِ الْإِمْسَاك رِعَايَة لحُرْمَة الْوَقت

2. Jika seseorang lupa niat di malam hari dan fajar sudah terbit sementara ia masih dalam keadaan lupa, maka hari itu tidak dihitung sebagai puasa baginya.
Namun, ia tetap wajib menahan diri (dari hal-hal yang membatalkan puasa) untuk menghormati waktu (bulan Ramadhan).

وَيسن فِي أول الشَّهْر أَن يَنْوِي صَوْم جَمِيعه,  وَذَلِكَ يُغني عَن تجديدها فِي كل لَيْلَة عِنْد الإِمَام مَالك.

📌"Disunahkan di awal bulan untuk berniat puasa sebulan penuh, dan hal itu cukup tanpa perlu memperbarui niat setiap malam menurut Imam Malik.

 فَيسنّ ذَلِك عندنَا لِأَنَّهُ رُبمَا نسي التبييت فِي بعض اللَّيَالِي .  فيقلد الإِمَام مَالِكًا .
 
 Oleh karena itu, hal ini juga disunahkan menurut kami (madzhab Syafi'i), karena dikhawatirkan seseorang mungkin lupa berniat pada beberapa malam. Dalam keadaan seperti itu, ia bisa mengikuti pendapat Imam Malik.

وَيشْتَرط أَن يحضر فِي الذِّهْن صِفَات الصَّوْم مَعَ ذَاته , ثمَّ يضم الْقَصْد إِلَى ذَلِك الْمَعْلُوم.
 
Syaratnya:
Hendaknya dalam pikirannya hadir sifat-sifat puasa beserta hakikatnya, kemudian ia menyatukan niat dengan hal yang diketahui tersebut.

فَلَو خطر بِبَالِهِ الْكَلِمَات مَعَ جَهله مَعْنَاهَا لم يَصح

👉Jika hanya terlintas kata-kata niat di pikirannya namun ia tidak memahami maknanya, maka niatnya tidak sah."

وَمن صِفَات الصَّوْم كَون الشَّهْر رَمَضَان.  وَإِن لم يحضر فِي الذِّهْن ذَلِك لم يحصل لَهُ الْيَوْم الأول وَلَا غَيره

"Di antara sifat-sifat puasa adalah bahwa bulan tersebut adalah bulan Ramadhan.
Jika hal ini tidak terlintas dalam pikirannya, maka puasa hari pertama maupun hari-hari lainnya tidak sah baginya."

(وَشرط لفرضه) أَي الصَّوْم من رَمَضَان وَلَو من صبي أَو غَيره كقضاء أَو كَفَّارَة أَو استسقاء أَمر بِهِ الامام أَو نذر

"Dan disyaratkan untuk puasa wajib," yaitu puasa Ramadhan, meskipun dari anak kecil atau selainnya seperti qadha, kafarat, puasa istisqa (meminta hujan) yang diperintahkan oleh imam, atau puasa nazar:


 (تبييت) للنِّيَّة لكل لَيْلَة وَلَو من أول اللَّيْل ,  وَلَا يجب التبييت فِي نفل الصَّوْم بل تصح نِيَّته قبل الزَّوَال بِشَرْط أَن لَا يسبقها منَاف للصَّوْم

1. Berniat di malam hari untuk setiap malam, meskipun sejak awal malam.

Tidak wajib berniat di malam hari untuk puasa sunnah, namun niatnya sah sebelum tengah hari (zawal) asalkan tidak didahului oleh hal yang membatalkan puasa.


(وَتَعْيِين) فِي الْفَرْض الْمَنوِي كرمضان أَو نذر أَو قَضَاء أَو كَفَّارَة . وَفِي نفل لَهُ سَبَب.

2. Menentukan jenis puasa wajib yang diniatkan, seperti Ramadhan, nazar, qadha, atau kafarat.

Untuk puasa sunnah yang memiliki sebab, juga disyaratkan menentukan niat.


 بِخِلَاف النَّفْل الْمُؤَقت كَصَوْم الْإِثْنَيْنِ وعرفة وعاشوراء وَأَيَّام الْبيض وَسِتَّة من شَوَّال فَلَا يشْتَرط فِيهِ التَّعْيِين,  لِأَن الصَّوْم فِي تِلْكَ الْأَيَّام منصرف إِلَيْهَا .   
 
 Sedangkan untuk puasa sunnah yang ditentukan waktunya, seperti puasa Senin, Arafah, Asyura, ayyamul bidh (tanggal 13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), dan enam hari di bulan Syawal, tidak disyaratkan untuk menentukan niat secara spesifik.
 
 Sebab, puasa pada hari-hari tersebut secara otomatis terarah pada waktu tersebut.
 
بل لَو نوى بِهِ غَيرهَا حصلت أَيْضا كتحية الْمَسْجِد لِأَن الْمَقْصُود وجود صَوْم فِيهَا

 Bahkan, jika seseorang berniat untuk puasa lain, puasa sunnah tersebut tetap sah, seperti (hukum) shalat tahiyyatul masjid yang sah meskipun diniatkan shalat sunnah lainnya, karena yang dimaksud adalah adanya puasa pada hari-hari tersebut.

 وَيسْتَثْنى من وجوب التَّعْيِين مَا لَو كَانَ عَلَيْهِ قَضَاء رمضانين أَو صَوْم نذر أَو كَفَّارَة من جِهَات مُخْتَلفَة فَنوى صَوْم غَد عَن قَضَاء رَمَضَان أَو صَوْم نذر أَو كَفَّارَة جَازَ وَإِن لم يعين عَن قَضَاء أَيهمَا فِي قَضَاء رمضانين وَلَا نَوعه فِي الْبَاقِي لِأَنَّهُ كُله جنس وَاحِد
 Pengecualian dalam penentuan niat:

Jika seseorang memiliki qadha Ramadhan dari dua tahun yang berbeda, atau memiliki puasa nazar atau kafarat dari beberapa sebab yang berbeda, lalu ia berniat berpuasa esok hari untuk qadha Ramadhan, nazar, atau kafarat, maka sah meski tanpa menentukan tahun atau jenisnya, karena semuanya termasuk dalam satu kategori.

وَلَو نوى صَوْم غَد وَهُوَ يَعْتَقِدهُ الْإِثْنَيْنِ فَكَانَ الثُّلَاثَاء أَو صَوْم رَمَضَان هَذِه السّنة وَهُوَ يعتقدها سنة ثَلَاث فَكَانَت سنة أَربع صَحَّ صَوْمه . وَلَا عِبْرَة بِالظَّنِّ الْبَين خَطؤُهُ

Contoh kasus:

Jika ia berniat puasa esok hari dengan meyakini bahwa esok adalah hari Senin, namun ternyata hari Selasa, atau ia berniat puasa Ramadhan tahun ini dengan keyakinan bahwa tahun ini adalah tahun ketiga, namun ternyata tahun keempat, maka puasanya tetap sah.

Kesalahan dalam prasangka yang jelas keliru tidak memengaruhi keabsahan puasanya.

بِخِلَاف مَا لَو نوى صَوْم الثُّلَاثَاء لَيْلَة الْإِثْنَيْنِ وَلم يخْطر بِبَالِهِ صَوْم غَد أَو صَوْم رَمَضَان سنة ثَلَاث وَكَانَت سنة أَربع وَلم يخْطر بِبَالِهِ

"Berbeda halnya dengan seseorang yang berniat puasa hari Selasa pada malam Senin, namun tidak terlintas dalam pikirannya untuk berpuasa esok hari atau berpuasa Ramadhan tahun ketiga, sedangkan sebenarnya tahun tersebut adalah tahun keempat dan hal itu tidak terlintas dalam pikirannya,"
Maka dalam kasus ini, niatnya tidak sah karena tidak ada kesesuaian antara niat dan kenyataan yang ada, serta tidak ada maksud untuk berpuasa pada hari yang sebenarnya.

والله اعلم بالصواب

TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN HAL 184 BAB PUASA PART 1

 TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN
HAL 184

BAB PUASA
PART 1
كتاب نهاية الزين
[نووي الجاوي]
فهرس الكتاب  باب الصوم
 

بَاب الصَّوْم
حَقِيقَته شرعا الْإِمْسَاك عَن جَمِيع المفطرات على وَجه مَخْصُوص وَصَوْم رَمَضَان فرض بِالْإِجْمَاع مَعْلُوم من الدّين بِالضَّرُورَةِ فيكفر جاحده إِلَّا إِذا كَانَ جَاهِلا نَشأ ببادية بعيدَة عَن الْعلمَاء أَو كَانَ قريب عهد بِالْإِسْلَامِ وَمن ترك صَوْمه لغير عذر من سفر وَمرض غير جَاحد لوُجُوبه كَأَن قَالَ الصَّوْم وَاجِب عَليّ وَلَكِن لَا أَصوم حبس وَمنع من الطَّعَام وَالشرَاب نَهَارا لتحصل لَهُ صُورَة الصَّوْم وَهُوَ أحد أَرْكَان الْإِسْلَام الْخَمْسَة وَهِي شَهَادَة أَن لَا إِلَه إِلَّا الله وَأَن مُحَمَّدًا رَسُول الله وإقام الصَّلَاة وإيتاء الزَّكَاة وَصَوْم رَمَضَان وَحج الْبَيْت من اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا وَهِي فِي الْأَفْضَلِيَّة على هَذَا التَّرْتِيب

(يجب صَوْم رَمَضَان) بِأحد أَرْبَعَة أُمُور الأول إِكْمَال شعْبَان ثَلَاثِينَ يَوْمًا عِنْد عدم ثُبُوت رَمَضَان لَيْلَة الثَّلَاثِينَ

الثَّانِي رُؤْيَة الْهلَال لَيْلَة الثَّلَاثِينَ فَيجب الصَّوْم على الرَّائِي وَلَو غير عدل وَإِن كَانَ حَدِيد الْبَصَر وَإِن قَالَ المنجمون إِن الْحساب الْقطعِي دلّ على عدم إِمْكَان الرُّؤْيَة خلافًا للقليوبي وَمن أخبرهُ موثوق بِهِ بِأَنَّهُ رأى الْهلَال وَجب عَلَيْهِ الصَّوْم وَإِن لم يصدقهُ لِأَن خبر الثِّقَة مَقْبُول شرعا وَلَا أثر لرُؤْيَته فِي المَاء وَلَا فِي الْمرْآة

وَخرج بليلة الثَّلَاثِينَ مَا لَو رُؤِيَ نَهَارا فَلَا أثر لذَلِك لَا فِي دُخُول الصَّوْم وَلَا فِي خُرُوجه وَفِي معنى الرُّؤْيَة الْعلم بالأمارة الدَّالَّة على ثُبُوت رَمَضَان كسماع المدافع ورؤية الْقَنَادِيل الْمُعَلقَة بالمنائر وَلَو طفئت بعد إيقادها لنَحْو شكّ فِي الرُّؤْيَة ثمَّ أُعِيدَت لثبوتها وَجب تَجْدِيد النِّيَّة على من علم بطفئها دون غَيره وَيجب على كل من المنجم والحاسب أَن يعْمل بِحِسَابِهِ وَكَذَا من صدقهما

الثَّالِث حكم الْحَاكِم بِثُبُوتِهِ بِمُقْتَضى شَهَادَة عدل عِنْده بِالرُّؤْيَةِ فَلَا بُد أَن يَقُول حكمت بِثُبُوت هِلَال رَمَضَان أَو ثَبت عِنْدِي هِلَال رَمَضَان وَإِلَّا لم يجب الصَّوْم وَحَيْثُ صدر مِنْهُ حكم وَجب الصَّوْم على عُمُوم من كَانَ مطلعه مُوَافقا لمطلع مَحل الرُّؤْيَة بِأَن يكون غرُوب الشَّمْس وَالْكَوَاكِب وطلوعها فِي المحلين فِي وَقت وَاحِد فَإِن غرب شَيْء من ذَلِك أَو طلع فِي أحد المحلين قبله فِي الآخر أَو بعده لم يجب على من لم ير بِرُؤْيَة أهل الْمحل الآخر لَكِن لَو سَافر من أحد المحلين إِلَى الآخر فَوجدَ أَهله صَائِمين أَو مفطرين لزمَه موافقتهم سَوَاء فِي أول الشَّهْر أَو آخِره
------------------------------------
TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN
BAB PUASA
PART 1

بَاب الصَّوْم
حَقِيقَته شرعا الْإِمْسَاك عَن جَمِيع المفطرات على وَجه مَخْصُوص.

BAB PUASA

Hakikat puasa menurut syariat adalah menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa dengan cara tertentu.

 وَصَوْم رَمَضَان فرض بِالْإِجْمَاع مَعْلُوم من الدّين بِالضَّرُورَةِ فيكفر جاحده إِلَّا إِذا كَانَ جَاهِلا نَشأ ببادية بعيدَة عَن الْعلمَاء أَو كَانَ قريب عهد بِالْإِسْلَامِ .

Puasa Ramadan adalah kewajiban berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama) dan diketahui secara pasti dalam agama, sehingga orang yang mengingkari kewajibannya dihukumi kafir, kecuali jika ia tidak mengetahuinya karena tinggal di daerah terpencil yang jauh dari para ulama atau baru saja masuk Islam.

وَمن ترك صَوْمه لغير عذر من سفر وَمرض غير جَاحد لوُجُوبه كَأَن قَالَ الصَّوْم وَاجِب عَليّ وَلَكِن لَا أَصوم حبس وَمنع من الطَّعَام وَالشرَاب نَهَارا لتحصل لَهُ صُورَة الصَّوْم.

Orang yang tidak berpuasa tanpa uzur (alasan yang dibenarkan) seperti karena bepergian atau sakit, namun tidak mengingkari kewajibannya — misalnya dengan berkata, "Puasa memang wajib atas saya, tetapi saya tidak mau berpuasa" — maka orang tersebut ditahan dan dilarang makan dan minum di siang hari agar tercipta gambaran puasa baginya.

 وَهُوَ أحد أَرْكَان الْإِسْلَام الْخَمْسَة  : وَهِي شَهَادَة أَن لَا إِلَه إِلَّا الله وَأَن مُحَمَّدًا رَسُول الله  ,  وإقام الصَّلَاة,  وإيتاء الزَّكَاة,   وَصَوْم رَمَضَان , وَحج الْبَيْت من اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلا,  وَهِي فِي الْأَفْضَلِيَّة على هَذَا التَّرْتِيب

Puasa merupakan salah satu dari lima rukun Islam, yaitu:

1⃣ Syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah,
2⃣ Mendirikan salat,
3⃣ Menunaikan zakat,
4⃣ Puasa Ramadan, dan
5⃣ Haji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh perjalanannya.
Kelima rukun ini memiliki keutamaan sesuai urutan yang disebutkan di atas.

(يجب صَوْم رَمَضَان) بِأحد أَرْبَعَة أُمُور  :   الأول إِكْمَال شعْبَان ثَلَاثِينَ يَوْمًا عِنْد عدم ثُبُوت رَمَضَان لَيْلَة الثَّلَاثِينَ
(Wajibnya Puasa Ramadan)

Puasa Ramadan menjadi wajib dengan salah satu dari empat hal berikut:

🔹 1⃣Menyempurnakan Bulan Syaban Menjadi Tiga Puluh Hari
Jika hilal (bulan baru) Ramadan tidak terlihat pada malam ke-30 Syaban, maka bulan Syaban disempurnakan menjadi 30 hari, dan setelah itu mulai berpuasa.

الثَّانِي رُؤْيَة الْهلَال لَيْلَة الثَّلَاثِينَ فَيجب الصَّوْم على الرَّائِي وَلَو غير عدل وَإِن كَانَ حَدِيد الْبَصَر .

🔹2⃣ Melihat Hilal pada Malam ke-30
Jika seseorang melihat hilal pada malam ke-30, maka wajib baginya untuk berpuasa, meskipun orang tersebut bukan orang yang adil (terpercaya) atau memiliki penglihatan yang sangat tajam.

وَإِن قَالَ المنجمون إِن الْحساب الْقطعِي دلّ على عدم إِمْكَان الرُّؤْيَة .

 Ini tetap berlaku meski para ahli hisab (astronom) mengatakan dengan perhitungan pasti bahwa hilal tidak mungkin terlihat.

خلافًا للقليوبي وَمن أخبرهُ موثوق بِهِ . بِأَنَّهُ رأى الْهلَال وَجب عَلَيْهِ الصَّوْم وَإِن لم يصدقهُ .

Pendapat ini berbeda dengan pendapat Al-Qalyubi yang mensyaratkan kesesuaian dengan perhitungan astronomi.
Jika seseorang diberitahu oleh orang yang dipercaya bahwa dia telah melihat hilal, maka wajib baginya untuk berpuasa, meskipun dia sendiri tidak yakin.

 لِأَن خبر الثِّقَة مَقْبُول شرعا . وَلَا أثر لرُؤْيَته فِي المَاء وَلَا فِي الْمرْآة

Hal ini karena kesaksian orang yang terpercaya diterima secara syariat.

Catatan Penting:
Tidak dianggap sah jika hilal terlihat di permukaan air atau melalui cermin.

وَخرج بليلة الثَّلَاثِينَ مَا لَو رُؤِيَ نَهَارا فَلَا أثر لذَلِك لَا فِي دُخُول الصَّوْم وَلَا فِي خُرُوجه.

Jika hilal terlihat pada siang hari, maka hal tersebut tidak berpengaruh baik untuk memulai puasa maupun untuk mengakhiri puasa.

 وَفِي معنى الرُّؤْيَة الْعلم بالأمارة الدَّالَّة على ثُبُوت رَمَضَان  : كسماع المدافع ,  ورؤية الْقَنَادِيل الْمُعَلقَة بالمنائر,

Makna "Melihat Hilal"
Yang dimaksud dengan “melihat hilal” juga mencakup pengetahuan yang diperoleh melalui tanda-tanda yang menunjukkan masuknya bulan Ramadan, seperti:
👉Mendengar suara meriam yang menandai awal Ramadan, atau
👉Melihat lentera yang digantung di menara masjid.

 وَلَو طفئت بعد إيقادها لنَحْو شكّ فِي الرُّؤْيَة ثمَّ أُعِيدَت لثبوتها وَجب تَجْدِيد النِّيَّة على من علم بطفئها دون غَيره.

👉Jika lentera tersebut sempat dipadamkan karena adanya keraguan dalam melihat hilal, lalu dinyalakan kembali setelah hilal dipastikan terlihat, maka orang yang mengetahui bahwa lentera itu sempat dipadamkan wajib memperbarui niat puasanya, sedangkan yang tidak mengetahui hal tersebut tidak wajib memperbarui niat.

 وَيجب على كل من المنجم والحاسب أَن يعْمل بِحِسَابِهِ وَكَذَا من صدقهما

Tentang Perhitungan Astronomi
Setiap ahli falak (astronom) dan ahli hisab (perhitungan bulan) wajib berpegang pada perhitungannya sendiri. Demikian pula, orang yang mempercayai perhitungan mereka juga wajib mengikuti hasil perhitungan tersebut.

الثَّالِث حكم الْحَاكِم بِثُبُوتِهِ بِمُقْتَضى شَهَادَة عدل عِنْده بِالرُّؤْيَةِ.
🔹3⃣ Keputusan Hakim tentang Masuknya Ramadan

Puasa Ramadan menjadi wajib jika seorang hakim menetapkan bahwa hilal telah terlihat berdasarkan kesaksian orang yang adil di hadapannya.

 فَلَا بُد أَن يَقُول حكمت بِثُبُوت هِلَال رَمَضَان أَو ثَبت عِنْدِي هِلَال رَمَضَان.  وَإِلَّا لم يجب الصَّوْم .

Maka wajib bagi hakim harus secara jelas menyatakan, "Saya memutuskan bahwa hilal Ramadan telah terlihat" atau "Telah terbukti di hadapan saya bahwa hilal Ramadan terlihat." Jika tidak diucapkan dengan tegas seperti itu, puasa tidak menjadi wajib.

وَحَيْثُ صدر مِنْهُ حكم وَجب الصَّوْم على عُمُوم من كَانَ مطلعه مُوَافقا لمطلع مَحل الرُّؤْيَة,  بِأَن يكون غرُوب الشَّمْس وَالْكَوَاكِب وطلوعها فِي المحلين فِي وَقت وَاحِد .  
Berlakunya Keputusan Hakim
Jika hakim telah mengeluarkan keputusan, maka puasa wajib bagi semua orang yang daerahnya memiliki mathla' (tempat terbit dan terbenamnya bulan) yang sama dengan tempat terlihatnya hilal. Artinya, waktu terbenamnya matahari, terbitnya bintang, dan terbitnya bulan terjadi bersamaan di kedua tempat tersebut.

فَإِن غرب شَيْء من ذَلِك أَو طلع فِي أحد المحلين قبله فِي الآخر أَو بعده لم يجب على من لم ير بِرُؤْيَة أهل الْمحل الآخر.

Namun, jika di salah satu tempat benda-benda langit tersebut terbenam atau terbit lebih awal atau lebih lambat dibandingkan tempat lainnya, maka orang yang tidak melihat hilal di tempatnya sendiri tidak wajib berpuasa hanya karena terlihat di tempat lain.

 لَكِن لَو سَافر من أحد المحلين إِلَى الآخر فَوجدَ أَهله صَائِمين أَو مفطرين لزمَه موافقتهم سَوَاء فِي أول الشَّهْر أَو آخِره

👉📌KETENTUAN BAGI MUSAFIR
Jika seseorang bepergian dari satu daerah ke daerah lain yang berbeda dalam penentuan awal atau akhir Ramadan dan mendapati penduduk setempat sedang berpuasa atau berbuka, maka ia wajib mengikuti keadaan mereka, baik itu di awal bulan maupun di akhir bulan.

والله اعلم بالصواب

TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN HAL 188 BAB PUASA PART 5

 TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN
HAL 188

BAB PUASA
PART 5
كتاب نهاية الزين
فهرس الكتاب  باب الصوم
    
الطيات الَّتِي فِيهِ .

وَمثل الْأصْبع غَائِط خرج مِنْهُ وَلم ينْفَصل ثمَّ ضم دبره فَدخل مِنْهُ شَيْء إِلَى دَاخله فيفطر حَيْثُ تحقق دُخُول شَيْء مِنْهُ بعد بروزه من معدته وَخرج بِالْعينِ الطّعْم وَالرِّيح فَلَا يضرّهُ وبالجوف مَا لَو طعن فَخذه مثلا فَلَا يضرّهُ ويعفى عَن مقعدة المبسور حَتَّى لَو توقف دُخُولهَا على الِاسْتِعَانَة بِأُصْبُعِهِ عُفيَ عَنهُ وَيُؤْخَذ من التَّقْيِيد بالمنفذ المفتوح أَن الْوَاصِل بتشرب المسام لَا يضر فَلَا يضر الاكتحال وَإِن وجد أَثَره فِي الْحلق كَمَا لَا يضر الِاغْتِسَال بِالْمَاءِ وَإِن وجد أثر الْبُرُودَة أَو الْحَرَارَة بباطنه

(لَا بريق طَاهِر صرف) بِكَسْر الصَّاد أَي خَالص (من معدنه) أَي مَحَله وَهُوَ جَمِيع الْفَم أَي فَلَا يضر وُصُول ريق من معدنه جَوْفه إِذا كَانَ طَاهِرا وَلم يخْتَلط بِغَيْرِهِ وَلَو أخرج رِيقه من فَمه على لِسَانه أَو جمعه على لِسَانه ثمَّ أخرجه على طرفه ثمَّ أَعَادَهُ لَا يفْطر لِأَن اللِّسَان كَيْفَمَا تقلب مَعْدُود من دَاخل الْفَم بِخِلَاف مَا إِذا خرج عَن معدنه كالخارج إِلَى حمرَة الشفتين أَو كَانَ مختلطا بِغَيْرِهِ كبقايا الطَّعَام أَو متنجسا كَأَن دميت لثته فَإِنَّهُ يضر

نعم لَو ابتلى بذلك بِحَيْثُ يجْرِي دَائِما أَو غَالِبا سومح بِمَا يشق الِاحْتِرَاز عَنهُ وَيَكْفِي بصقه ويعفى عَن أَثَره وَلَا سَبِيل إِلَى تَكْلِيفه غسله جَمِيع نَهَاره إِذْ الْفَرْض أَنه يجْرِي أَو يرشح دَائِما أَو غَالِبا وَرُبمَا إِذا غسله زَاد رشحه قَالَه الْأَذْرَعِيّ قَالُوا وَهُوَ فقه ظَاهر وَلَو بَقِي بَين أَسْنَانه شَيْء من أثر طَعَام وَعجز عَن تَمْيِيزه ومجه فَسبق مَعَ رِيقه إِلَى جَوْفه بِغَيْر اخْتِيَاره لَا يضر وَلَا يضر وُصُول الذُّبَاب أَو غُبَار الطَّرِيق أَو غربلة الدَّقِيق جَوْفه وَإِن تعمد فتح فَمه لأجل ذَلِك لِأَن شَأْنه عسر التَّحَرُّز عَنهُ وَلَا بُد من تَقْيِيد الْغُبَار بالطاهر فَيضر النَّجس وَلَا يضر بلع رِيقه أثر الْمَضْمَضَة فِي الْوضُوء لعسر التَّحَرُّز عَنهُ

(وَلَا بسبق مَاء جَوف مغتسل عَن جَنَابَة بِلَا انغماس)

وَالْحَاصِل أَن الصَّائِم لَو اغْتسل من حيض أَو نِفَاس أَو جَنَابَة فَسبق المَاء إِلَى جَوْفه لَا يضر وَلَا نظر إِلَى إِمْكَان إمالة رَأسه بِحَيْثُ لَا يدْخل شَيْء لعسره

نعم إِن عرف من عَادَته ذَلِك حرم عَلَيْهِ الانغماس وَأفْطر قطعا إِن تمكن من الْغسْل على غير تِلْكَ الْحَالة وَمثل ذَلِك الْغسْل الْمسنون بِخِلَاف غسل التبرد فَلَا يُعْفَى عَنهُ وَكَذَا لَو تولد من غير مَأْمُور بِهِ أَو من مَأْمُور بِهِ بِاخْتِيَارِهِ وَلَو سبق مَاء الْمَضْمَضَة أَو الِاسْتِنْشَاق إِلَى جَوْفه فَإِن كَانَ مَعَ الْمُبَالغَة أَو كَانَ من رَابِعَة يَقِينا أفطر وَإِلَّا فَلَا

وَمن مبطلات الصَّوْم الْحيض وَالنّفاس وَيجب عَلَيْهِمَا الْقَضَاء بعد انْقِضَاء الدَّم والولادة وَلَو لعلقة ومضغة وَإِن لم تَرَ الْمَرْأَة دَمًا وإغماء كل الْيَوْم وَالْجُنُون وَلَو فِي لَحْظَة من النَّهَار وَالرِّدَّة وَالْعِيَاذ بِاللَّه تَعَالَى وَلَو لَحْظَة وَجُمْلَة المبطلات عشرَة

(وَيُبَاح فطر) فِي صَوْم فرض (بِمَرَض مُضر) فَإِن شقّ عَلَيْهِ الصَّوْم فالفطر أفضل وَإِلَّا فالصوم أفضل لما فِيهِ من تَعْجِيل بَرَاءَة الذِّمَّة وَالْفطر لَهُ جَائِز إِن خَافَ مشقة شَدِيدَة تبيح التَّيَمُّم كَأَن خشِي من الصَّوْم بطء برْء فَإِن تحققها أَو غلبت على ظَنّه حرم الصَّوْم وَوَجَب الفطر.

-------------------------------------
TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN
HAL 188

BAB PUASA
PART 5
 
YANG MEMBATALKAN PUASA

وَمثل الْأصْبع غَائِط خرج مِنْهُ وَلم ينْفَصل , ثمَّ ضم دبره فَدخل مِنْهُ شَيْء إِلَى دَاخله ,  فيفطر حَيْثُ تحقق دُخُول شَيْء مِنْهُ بعد بروزه من معدته .

YANG MEMBATALKAN PUASA
👉"Dan seperti jari yang terkena najis (kotoran) yang keluar darinya tetapi belum terpisah, kemudian seseorang merapatkan duburnya sehingga sesuatu masuk kembali ke dalamnya, maka puasanya batal karena terbukti ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuh setelah sebelumnya keluar dari perutnya.

وَخرج بِالْعينِ الطّعْم وَالرِّيح فَلَا يضرّهُ .

👉Namun, jika yang keluar hanya berupa zat seperti rasa atau bau, maka itu tidak membahayakan (tidak membatalkan puasa).

وبالجوف ,  مَا لَو طعن فَخذه مثلا فَلَا يضرّهُ.

👉Adapun yang masuk ke dalam rongga tubuh (jauf), misalnya jika seseorang ditusuk pada pahanya, maka itu tidak membatalkan puasanya.

 ويعفى عَن مقعدة المبسور حَتَّى لَو توقف دُخُولهَا على الِاسْتِعَانَة بِأُصْبُعِهِ عُفيَ عَنهُ .

👉Dimaafkan juga bagi seseorang yang telah menjalani operasi di duburnya (mabsūr), sehingga jika ia membutuhkan bantuan jarinya untuk memasukkan sesuatu (ke dalam duburnya), maka itu juga dimaafkan.

وَيُؤْخَذ من التَّقْيِيد بالمنفذ المفتوح أَن الْوَاصِل بتشرب المسام لَا يضر ,

👉Dari ketentuan yang menyebutkan bahwa batalnya puasa terkait dengan ‘jalan terbuka’ (manfadz maftūḥ), dapat dipahami bahwa sesuatu yang masuk melalui pori-pori kulit (tasyrub al-masām) tidak membatalkan puasa.

فَلَا يضر الاكتحال وَإِن وجد أَثَره فِي الْحلق .

 👉Oleh karena itu, memakai celak (kohl) juga tidak membatalkan puasa, meskipun seseorang merasakan efeknya di tenggorokan.

كَمَا لَا يضر الِاغْتِسَال بِالْمَاءِ وَإِن وجد أثر الْبُرُودَة أَو الْحَرَارَة بباطنه

 👉Demikian pula, mandi dengan air tidak membatalkan puasa, meskipun seseorang merasakan efek dingin atau panasnya di dalam tubuhnya."*

لَا بريق طَاهِر صرف) بِكَسْر الصَّاد أَي خَالص (من معدنه) أَي مَحَله وَهُوَ جَمِيع الْفَم أَي فَلَا يضر وُصُول ريق من معدنه جَوْفه إِذا كَانَ طَاهِرا وَلم يخْتَلط بِغَيْرِهِ.

TIDAK MEMBATALKAN PUASA
👉"Air liur yang suci dan murni (ṣarf), dengan huruf ṣād yang dikasrahkan, artinya benar-benar murni (tidak bercampur). (Dari sumbernya), yaitu tempat asalnya, yang mencakup seluruh mulut.
🔸Artinya, tidak masalah jika air liur yang berasal dari tempat asalnya masuk ke dalam rongga tubuh (jauf) selama masih suci dan tidak bercampur dengan sesuatu yang lain.

 وَلَو أخرج رِيقه من فَمه على لِسَانه أَو جمعه على لِسَانه ثمَّ أخرجه على طرفه ثمَّ أَعَادَهُ لَا يفْطر.
 لِأَن اللِّسَان كَيْفَمَا تقلب مَعْدُود من دَاخل الْفَم.

👉Bahkan, jika seseorang mengeluarkan air liurnya ke lidahnya, atau mengumpulkannya di atas lidahnya lalu mengeluarkannya ke ujung lidah, kemudian mengembalikannya lagi ke dalam mulutnya, maka itu tidak membatalkan puasa.
🔸Hal ini karena lidah, dalam kondisi bagaimana pun ia bergerak, tetap dianggap sebagai bagian dalam mulut.

 بِخِلَاف مَا إِذا خرج عَن معدنه كالخارج إِلَى حمرَة الشفتين أَو كَانَ مختلطا بِغَيْرِهِ كبقايا الطَّعَام أَو متنجسا كَأَن دميت لثته فَإِنَّهُ يضر

👉Namun, berbeda jika air liur itu keluar dari tempat asalnya, seperti sampai ke bagian merah bibir, atau jika bercampur dengan sesuatu yang lain, seperti sisa makanan, atau terkena najis, seperti darah dari gusi yang berdarah. Dalam kasus seperti itu, air liur yang tertelan dapat membatalkan puasa."*

نعم لَو ابتلى بذلك بِحَيْثُ يجْرِي دَائِما أَو غَالِبا سومح بِمَا يشق الِاحْتِرَاز عَنهُ.

👉Ya, jika seseorang diuji dengan kondisi di mana sesuatu itu terus-menerus keluar atau hampir selalu terjadi, maka ia dimaafkan atas sesuatu yang sulit dihindari.

 وَيَكْفِي بصقه ويعفى عَن أَثَره وَلَا سَبِيل إِلَى تَكْلِيفه غسله جَمِيع نَهَاره.

👉Cukup baginya untuk meludah dan dimaafkan dari bekasnya, dan tidak ada kewajiban untuk mencucinya sepanjang hari.

 إِذْ الْفَرْض أَنه يجْرِي أَو يرشح دَائِما أَو غَالِبا وَرُبمَا إِذا غسله زَاد رشحه قَالَه الْأَذْرَعِيّ .

👉Sebab, kewajiban itu ditetapkan berdasarkan keadaan di mana cairan tersebut terus keluar atau merembes secara terus-menerus atau hampir selalu. Bahkan, mungkin saja jika ia mencucinya, justru akan semakin banyak merembesnya. Hal ini dikatakan oleh Al-Adzra’i.

قَالُوا وَهُوَ فقه ظَاهر .

Para ulama mengatakan bahwa ini adalah pemahaman fiqih yang jelas.

وَلَو بَقِي بَين أَسْنَانه شَيْء من أثر طَعَام وَعجز عَن تَمْيِيزه ومجه فَسبق مَعَ رِيقه إِلَى جَوْفه بِغَيْر اخْتِيَاره لَا يضر.

👉Jika masih tersisa sedikit bekas makanan di antara giginya dan ia tidak mampu membedakannya lalu meludahkannya, kemudian secara tidak sengaja tertelan bersama air liurnya tanpa disengaja, maka hal itu tidak membahayakan.

 وَلَا يضر وُصُول الذُّبَاب أَو غُبَار الطَّرِيق أَو غربلة الدَّقِيق جَوْفه وَإِن تعمد فتح فَمه لأجل ذَلِك لِأَن شَأْنه عسر التَّحَرُّز عَنهُ.

👉Begitu pula tidak mengapa jika lalat masuk ke dalam mulutnya, atau debu jalanan, atau sisa ayakan tepung masuk ke dalam perutnya, bahkan jika ia sengaja membuka mulutnya untuk itu.
 Sebab, hal-hal tersebut sulit untuk dihindari.

 وَلَا بُد من تَقْيِيد الْغُبَار بالطاهر فَيضر النَّجس .
وَلَا يضر بلع رِيقه أثر الْمَضْمَضَة فِي الْوضُوء لعسر التَّحَرُّز عَنهُ

👉Namun, debu harus dibatasi pada yang suci, karena debu yang najis akan berpengaruh (membatalkan puasa).
👉Demikian pula tidak mengapa menelan air liur setelah berkumur dalam wudhu, karena sulit menghindarinya.

(وَلَا بسبق مَاء جَوف مغتسل عَن جَنَابَة بِلَا انغماس)

👉Dan tidak batal puasanya sebab terlanjur kemasukan air ke rongga tubuhnya bagi orang yang mandi jinabat yang tidak dengan menyelam.

وَالْحَاصِل أَن الصَّائِم لَو اغْتسل من حيض أَو نِفَاس أَو جَنَابَة فَسبق المَاء إِلَى جَوْفه لَا يضر

👉Kesimpulannya, jika seorang yang berpuasa mandi untuk menghilangkan haid, nifas, atau janabah (hadats besar), lalu air secara tidak sengaja masuk ke dalam perutnya, maka puasanya tidak batal.

 وَلَا نظر إِلَى إِمْكَان إمالة رَأسه بِحَيْثُ لَا يدْخل شَيْء لعسره
Tidak perlu mempertimbangkan kemungkinan untuk memiringkan kepalanya agar air tidak masuk, karena hal itu sulit dilakukan.

نعم إِن عرف من عَادَته ذَلِك حرم عَلَيْهِ الانغماس.

Namun, jika seseorang mengetahui dari kebiasaannya bahwa air sering masuk ke dalam perutnya saat mandi, maka haram baginya untuk menyelam (berendam penuh di dalam air).

 وَأفْطر قطعا إِن تمكن من الْغسْل على غير تِلْكَ الْحَالة.

Jika ia masih melakukannya dan air masuk ke dalam perutnya, puasanya batal secara pasti, dengan syarat ia masih mampu mandi dengan cara lain yang tidak berisiko seperti itu.

 وَمثل ذَلِك الْغسْل الْمسنون بِخِلَاف غسل التبرد فَلَا يُعْفَى عَنهُ.

 👉Hal yang sama ( وَلَا بسبق مَاء جَوف مغتسل عَن جَنَابَة بِلَا انغماس)) berlaku untuk mandi yang disunnahkan (seperti mandi Jumat), berbeda dengan mandi untuk menyegarkan tubuh (mandi karena kepanasan), karena dalam hal ini tidak ada keringanan ( batal puasanya )

 وَكَذَا لَو تولد من غير مَأْمُور بِهِ أَو من مَأْمُور بِهِ بِاخْتِيَارِهِ.

👉Demikian pula, jika air masuk ke dalam perut akibat perbuatan yang tidak diperintahkan atau akibat perbuatan yang diperintahkan tetapi dilakukan dengan pilihannya sendiri, maka puasanya batal.

 وَلَو سبق مَاء الْمَضْمَضَة أَو الِاسْتِنْشَاق إِلَى جَوْفه فَإِن كَانَ مَعَ الْمُبَالغَة أَو كَانَ من رَابِعَة يَقِينا أفطر وَإِلَّا فَلَا

 Begitu juga, jika air kumur-kumur (madhmadah) atau air istinsyaq (menghirup air ke hidung) masuk ke dalam perut, maka:
🔸Jika hal itu terjadi karena berlebihan dalam berkumur atau istinsyaq, atau terjadi pada kumuran atau istinsyaq keempat (setelah tiga kali yang disunnahkan) secara yakin, maka puasanya batal.
🔸Jika tidak demikian, maka puasanya tetap sah.

وَمن مبطلات الصَّوْم الْحيض وَالنّفاس وَيجب عَلَيْهِمَا الْقَضَاء بعد انْقِضَاء الدَّم والولادة وَلَو لعلقة ومضغة وَإِن لم تَرَ الْمَرْأَة دَمًا .

YANG MEMBATALKAN PUASA
 Di antara hal-hal yang membatalkan puasa adalah haid dan nifas. Keduanya wajib mengganti (qadha) puasa setelah darahnya berhenti dan setelah melahirkan, bahkan jika yang dilahirkan masih berupa segumpal darah (‘alaqah) atau segumpal daging (mudghah), meskipun wanita tersebut tidak melihat darah.

وإغماء كل الْيَوْم,  وَالْجُنُون وَلَو فِي لَحْظَة من النَّهَار,  وَالرِّدَّة وَالْعِيَاذ بِاللَّه تَعَالَى وَلَو لَحْظَة وَجُمْلَة المبطلات عشرَة
Termasuk juga pingsan sepanjang hari, gila meskipun hanya sesaat di siang hari, serta murtad (semoga Allah melindungi kita) meskipun hanya sesaat. Secara keseluruhan, jumlah pembatal puasa ada sepuluh.

(وَيُبَاح فطر) فِي صَوْم فرض (بِمَرَض مُضر)

 (Diperbolehkan berbuka) dalam puasa wajib karena sakit yang membahayakan

فَإِن شقّ عَلَيْهِ الصَّوْم فالفطر أفضل وَإِلَّا فالصوم أفضل.  لما فِيهِ من تَعْجِيل بَرَاءَة الذِّمَّة.

 Jika puasa terasa berat baginya, maka berbuka lebih utama. Namun, jika tidak terlalu berat, maka berpuasa lebih utama karena dapat segera menyelesaikan kewajiban.

 وَالْفطر لَهُ جَائِز إِن خَافَ مشقة شَدِيدَة تبيح التَّيَمُّم كَأَن خشِي من الصَّوْم بطء برْء .

 Berbuka juga diperbolehkan jika ia khawatir mengalami kesulitan berat yang membolehkan tayamum, seperti khawatir bahwa puasa akan memperlambat kesembuhannya.

 فَإِن تحققها أَو غلبت على ظَنّه حرم الصَّوْم وَوَجَب الفطر

 Jika kondisi ini benar-benar terjadi atau diduga kuat akan terjadi, maka haram baginya untuk berpuasa dan ia wajib berbuka.

والله اعلم بالصواب

Sabtu, 01 Maret 2025

NIAT PUASA TERPUTUS KARENA HAID DLL

 NIAT PUASA TERPUTUS KARENA HAID DLL

Pertanyaan:

Jika ada wanita yg kemungkinan nanti akan haid. Lalu dia diawal ramadhan dia berniat puasa satu bulan sebagaimana madzhab maliki.
Sahkah/putuskah niatnya? Atau bagaimana?

JAWABAN:

.Jika seseorang berpuasa dengan niat satu kali di malam pertama satu bulan penuh, kemudian tatabu' puasanya terputus karna haid dan semisalnya maka ketika hendak berpuasa lagi wajib niat kembali. Demikian menurut madzhab Maliki.

شرح مختصر خليل للخرشي الجزأ الثاني صـ ٢٤٧ (مالكية)

(ص) وَكَفَتْ نِيَّةٌ لِمَا يَجِبُ تَتَابُعُهُ (ش) الْمَشْهُورُ أَنَّ النِّيَّةَ الْوَاحِدَةَ فِي حَقِّ الْحَاضِرِ تَكْفِي فِي الصَّوْمِ الَّذِي يَجِبُ تَتَابُعُهُ كَصَوْمِ رَمَضَانَ وَكَفَّارَتِهِ وَهِيَ صِيَامُ شَهْرَيْنِ فِي حَقِّ مَنْ أَبْطَلَ صَوْمَهُ مُتَعَمِّدًا كَمَا يَأْتِي وَكَفَّارَةِ الْقَتْلِ وَكَفَّارَةِ الظِّهَارِ وَالنَّذْرِ الْمُتَتَابِعِ كَمَنْ نَذَرَ صَوْمَ شَهْرٍ بِعَيْنِهِ؛ لِأَنَّ كُلَّ عِبَادَةٍ يَجِبُ تَتَابُعُهَا يَكْفِي فِيهَا النِّيَّةُ الْوَاحِدَةُ كَرَكَعَاتِ الصَّلَاةِ وَأَفْعَالِ الْحَجِّ وَأَشْعَرَ قَوْلُهُ: كَفَتْ أَنَّهُ يُنْدَبُ التَّبْيِيتُ كُلَّ لَيْلَةٍ وَهُوَ كَذَلِكَ أَمَّا مَا كَانَ مِنْ الصِّيَامِ يَجُوزُ تَفْرِيقُهُ كَقَضَاءِ رَمَضَانَ وَصِيَامِهِ فِي السَّفَرِ وَكَفَّارَةِ الْيَمِينِ وَفِدْيَةِ الْأَذَى فَلَا يَكْفِي فِي ذَلِكَ النِّيَّةُ الْوَاحِدَةُ وَلَا بُدَّ مِنْ التَّبْيِيتِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ فَقَوْلُهُ: لِمَا أَيْ: لِصَوْمٍ أَوْ الَّذِي وَقَوْلُهُ: يَجِبُ تَتَابُعُهُ صِفَةٌ أَوْ صِلَةٌ وَقَيَّدْنَا كَلَامَهُ بِالْحَاضِرِ لِيَخْرُجَ الْمُسَافِرُ فَلَا بُدَّ لَهُ مِنْ التَّبْيِيتِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ قَالَهُ فِي الْعُتْبِيَّةِ وَالْمَرِيضُ يُلْحَقُ بِالْمُسَافِرِ إلى قوله 👇

_________

(ص) لَا إنْ انْقَطَعَ تَتَابُعُهُ بِكَمَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ (ش) تَقَدَّمَ أَنَّ الصِّيَامَ إذَا كَانَ يَجِبُ تَتَابُعُهُ فَإِنَّهُ تَكْفِي فِيهِ النِّيَّةُ الْوَاحِدَةُ وَذَكَرَ هُنَا إذَا انْقَطَعَ التَّتَابُعُ بِالْفِطْرِ لِأَجْلِ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ حَيْضٍ أَوْ نِفَاسٍ فَإِنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ تَجْدِيدِ النِّيَّةِ لِبَقِيَّةِ ذَلِكَ الصَّوْمِ لِعَدَمِ تَوَالِيهِ

Wollohu a'lam

Niat puasa satu bulan penuh

 

 Niat puasa satu bulan penuh



Seperti yang kita tau, para ulama' Syafi'iyah menganjurkan untuk niat ala madzhab Maliki di malam pertama ramadhan, tujuannya supaya kalau ada hari yang lupa niat, maka puasanya bisa sah ala madzhab Maliki.

Tapi kemudian ada problem : ketika suatu hari bener² lupa niat saat malam, apakah dihari itu harus 100% pindah ke Malikiyah atau boleh niat saja yang Malikiyah dan selainnya tetap Syafi'iyah?

Dari komentar² post kemarin yang saya pahami redaksi kitab yang ditampilkan memang harus 100% pindah Malikiyah.

Tapi tenang, kita bisa pindah 100% ke Malikiyah, dan kita bisa ikut pendapat mu'tamad Malikiyah yang menyatakan boleh talfiq.

Maka, kita boleh niat ala Malikiyah dihari itu, sedangkan permasalah lainnya, seperti yang membatalkan dan sebagainya, tetap ikut Syafi'iyah. Karena pendapat kuat Malikiyah menilai boleh talfiq.

Ini perlu, karena jarang banget yang paham fikih Malikiyah.

وَبِالْجُمْلَةِ فَفِي التَّلْفِيقِ فِي الْعِبَادَةِ الْوَاحِدَةِ مِنْ مَذْهَبَيْنِ طَرِيقَتَانِ: الْمَنْعُ وَهُوَ طَرِيقَةُ الْمَصَارِوَةِ وَالْجَوَازُ وَهُوَ طَرِيقَةُ الْمَغَارِبَةِ وَرُجِّحَتْ. [الشرح الكبير للدسوقي].

وَاَلَّذِي قَالَهُ شَيْخُنَا الْأَمِيرُ عَنْ شَيْخِهِ الْعَدَوِيِّ عَنْ شَيْخِهِ الصَّغِيرِ وَغَيْرِهِ: أَنَّ الصَّحِيحَ جَوَازُهُ، وَهُوَ فُسْحَةٌ.

لَكِنْ لَا يَنْبَغِي فِعْلُهَا فِي النِّكَاحِ، لِأَنَّهُ يُحْتَاطُ فِي الْفُرُوجِ مَا لَا يُحْتَاطُ فِي غَيْرِهَا. [حاشية الصاوي على الشرح الصغير].

Para suami yang pengen matsna harap fokus ke paragraf kedua Hasyiyah Showi

Double Protector Niat Puasa

----------------------

 

Bagaimana caranya supaya kita aman dari lupa niat puasa..❓❓

    

                        --<>--<>--<>--<>--

 

وعند الإمام مالك أنه يكفي نية صوم جميع الشهر في اول ليلة منه، وللشافعي تقليده في ذلك لئلا ينسي النية في ليلة فيحتاج للقضاء.

[الباجوري، ١/ ٦٣١]

 

Menurut Imam Malik, Niat puasa untuk satu bulan sekaligus di awal malam Ramadhan sudah mencukupi. Bagi (Madzhab) Syafi'i dapat mengikutinya dalam masalah niat ini, supaya ketika lupa niat di malam hari tidak butuh Qodho' puasa.

 niat puasa sebulan penuh

نَوَيْتُ صَوْمَ جَمِيْعِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ تَقْلِيْدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى   

“Aku niat berpuasa di sepanjang bulan Ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam Malik, fardhu karena Allah."

TIDAK PUASA TAPI WAJIB IMSAK

 TIDAK PUASA TAPI WAJIB IMSAK

Ada (6) kondisi, dimana seseorang yang tidak berpuasa, selain wajib meng-Qodho',  di hari itu juga dia wajib imsak / menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa hingga Maghrib tiba.

(dalam artian: meskipun tidak dinilai berpuasa, tapi tetap wajib imsak/ menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa).

(Kasus ini Khusus untuk puasa Romadhon)

Yaitu:
1. Orang yang tidak puasa tanpa udzur.

2. Orang yang tidak niat di malam hari, meskipun karena lupa.

(Karena, lupa itu berarti dia teledor ,tidak fokus / tidak punya atensi terhadap Ibadah)

3. Orang yang makan sahur karena mengira masih malam. Ternyata sudah Subuh.

4. Orang yang berbuka puasa (petang hari) karena mengira sudah Maghrib. Ternyata masih belum tiba Maghrib.

(Namun Jika berbuka berdasarkan ijtihad-nya , maka boleh berbuka ; puasanya tetap Sah)

5. Orang yang tidak puasa pada tanggal 30 Sya'ban.   Ternyata hari itu sudah masuk bulan Romadhon.

6. Orang yang rongga-nya kemasukan air tanpa sengaja dari aktifitas yang tidak dianjurkan , saat berkumur, istinsyaq (menyerap air ke hidung [saat wudhu] yakni: berkumur dan istinsyaq yang ke Empat dst... Atau ke Satu, Dua dan Tiga tapi dilakukan secara berlebihan) dan mandi (yang bukan mandi Sunnah atau mandi Wajib).

Al-Taqrirot al-Sadidat : 1/457

⚫ حالات وجوبِ القضاء مع الإمساك إلى الغروب: ست (۱)

۱ ـ على مُتَعدٍّ بِفِطْرِه .

۲ ـ على تاركِ النيّةِ ليلاً ولو سهوا (٢) .

٣ ــ على مَن تسخَّرَ ظانا بقاءَ الليلِ فبانَ خِلافُه .

٤ ـ على مَن أفطَرَ ظانا الغروبَ فبانَ خِلافُه (۳).

ه ـ على مَن بانَ لهُ يومُ ثلاثينَ شعبانَ أنّه مِن رمضانَ

 ٦ ـ على مَن سَبقَهُ ماءٌ غيرُ مشروعٍ (غيرُ مأمورٍ بِه) : مِن مضمضة أو استنشاقٍ أو غُسلٍ .
___
(1) ولا يكون ذلك إلا في رمضانَ وذلك لحرمتِه .

 (۲) لأن نسيانَه يُشعِرُ بتقصيرِه بتركِ الاهتمامِ بالعبادةِ .

(۳) وإن اعتمدَ ظنًَه على اجتهادٍ فلا يحرمُ إقدامُه على الفطرِ، وأما إذا لم يَعتمِدْ على اجتهادٍ فيحرمُ إقدامُه على الفطرِ لأن الأصلَ بقاءُ النهارٍ.

Hukum zakat fitrah dengan Uang

 Kalau menurut Madzhab Syafi'i memang tidak ada pendapat yang mengabsahkan zakat fitrah memakai uang seperti berlaku pada zaman sekarang, yang membolehkan mengeluarkan zakat fitrah memakai uang ialah Madzhab Hanafi. Kalau begitu realitanya berarti selama ini bagi penganut Madzhab Syafi'i zakat fitrah yang mereka keluarkan tidak sah dan apakah tidak ada solusinya? Solusinya supaya sah mengeluarkan zakat fitrah memakai uang maka dengan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah yang membolehkan mengeluarkan zakat fitrah memakai uang, sebab ada salah satu pendapat dari kalangan Syafi'iyah yang membolehkan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah dalam masalah ini dengan alasan uang lebih bisa bermanfaat bagi orang faqir. Dengan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah maka zakat yang dikeluarkan memakai uang sesuai ketentuan dalam Madzhab Hanafi karena hanya Madzhab Hanafi yang membolehkan mengeluarkan zakat memakai uang. Ukuran sho' dalam Madzhab Hanafi bukan seperti ketentuan dalam Madzhab Syafi'i yaitu sesuai bahan makanan pokok setempat, kalau madzhab Hanafi ukuran sho' mengikuti aturan dalam hadits yaitu satu sho' gandum, kurma dan anggur kering, bila diukur +- 3.8 Kg

Dengan demikian, mengeluarkan zakat fitrah memakai uang tidak boleh Menurut Madzhab Syafi'i dan bisa boleh dengan mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah.

مَسْأَلَةٌ) لَا تُجْزِئُ الْقِيمَةُ فِي الْفِطْرَةِ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَابْنُ الْمُنْذِرِ
* وقال أبو حنيفة يجوز وحكاه ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَعُمَرَ بْنِ عبد العزيز والثوري قال وقال اسحق وَأَبُو ثَوْرٍ لَا تُجْزِئُ إلَّا عِنْدَ الضَّرُورَةِ
(Masalah) Tidak sah lagi tidak mencukupi uang pada zakat fitrah menurut kami (Syafi'iyah) dan berpendapat pula Malik, Ahmad dan Ibn Mundzir. Berkata Abu Hanifah "Boleh" dan Ibn Mundzir menceritakan dari Hasan Bashri, Umar bin Abdul Aziz dan Tsauriy. Berkata Abu Ishaq dan Abu Tsur "Tidak sah lagi tidak mencukupi kecuali dharurat".
[Al Majmuu' Syarh al Muhadzdzab VI/144]

ومذهب الإمام الشافعي أنه لا تجزئ القيمة، بل لا بدّ من إخراجها قوتاً من غالب أقوات ذلك البلد. إلا أنه لا بأس باتباع مذهب الإمام أبي حنيفة رحمه الله تعالى في هذه المسألة في هذا العصر، وهو جواز دفع القيمة، ذلك لأن القيمة أنفع للفقير اليوم من الفقير نفسه، واقرب إلى تحقيق الغاية المرجوة.
Madzhab Imam Syafi'i tidak sah lagi tidak mencukupi mengeluarkan uang dalam zakat fitrah bahkan tidak dapat tidak mengeluarkan zakat fitrah dengan makanan pokok daerahnya (negaranya) kecuali tidak masalah (sah mengeluarkan zakat fitrah memakai uang) dengan mengikuti Madzhab Imam Abu Hanifah - Semoga Allah merahmati beliau - dalam masalah ini dan zaman kini yang membolehkan mengeluarkan zakat fitrah memakai uang, dikarenakan uang lebih bermanfaat bagi orang fakir dari orang fakir itu sendiri dan lebih realistis dalam memastikan tujuan yang diharapkan".
[Al Fiqh Al Manhaji ala al Madzhab as Syafi'i I/230]

وَلَا يجوز إِخْرَاج الْقيمَة فِي الزَّكَاة وَبِه قَالَ مَالك وَأحمد إِلَّا أَن مَالِكًا قَالَ يجوز إِخْرَاج الذَّهَب عَن الْفضة وَالْفِضَّة عَن الذَّهَب على سَبِيل الْبَدَل
وَعَن أَحْمد فِي إِخْرَاج الذَّهَب عَن الْفضة رِوَايَتَانِ
وَقَالَ أَبُو حنيفَة يجوز إِخْرَاج الْقيمَة فِي ذَلِك وَلَا يجوز إِخْرَاج الْمَنَافِع وَلَا إِخْرَاج نصف صَاع من بر عَن صَاع من شعير فِي الْفطْرَة
[Hilyah al Ulama' Fii Ma'rifah Madzaahib al Fuq

TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN HAL 186 BAB PUASA PART 3

TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN
HAL 186

BAB PUASA
PART 3

كتاب نهاية الزين
[نووي الجاوي]

فهرس الكتاب  باب الصوم

 وَلَو نوى صَوْم غَد وَهُوَ يَعْتَقِدهُ الْإِثْنَيْنِ فَكَانَ الثُّلَاثَاء أَو صَوْم رَمَضَان هَذِه السّنة وَهُوَ يعتقدها سنة ثَلَاث فَكَانَت سنة أَربع صَحَّ صَوْمه . وَلَا عِبْرَة بِالظَّنِّ الْبَين خَطؤُهُ

بخلاف لَو نوى صَوْم الثُّلَاثَاء لَيْلَة الْإِثْنَيْنِ وَلم يخْطر بِبَالِهِ صَوْم غَد أَو صَوْم رَمَضَان سنة ثَلَاث وَكَانَت سنة أَربع وَلم يخْطر بِبَالِهِ السّنة الْحَاضِرَة فَإِنَّهُ لَا يَصح لِأَنَّهُ لم يعين الْوَقْت الَّذِي نوى فِي ليلته وَلَو نوى صَوْم غَد يَوْم الْأَحَد مثلا وَهُوَ غَيره فَالْأَوْجه الصِّحَّة من الغالط لَا الْعَامِد لتلاعبه وَخرج بِالتَّعْيِينِ مَا لَو نوى الصَّوْم عَن فَرْضه أَو عَن فرض وقته فَلَا يَكْفِي لِأَنَّهُ فِي الأولى يحْتَمل رَمَضَان وَغَيره وَفِي الثَّانِيَة يحْتَمل الْقَضَاء وَالْأَدَاء

وَأَقل التَّعْيِين هُنَا أَن يَنْوِي صَوْم غَد عَن رَمَضَان وَلَا يشْتَرط التَّعَرُّض للغد بِخُصُوصِهِ لحُصُول التَّعْيِين دونه كَأَن يَقُول الْخَمِيس مثلا عَن رَمَضَان أَو يَقُول رَمَضَان بِدُونِ ذكر يَوْم وَإِنَّمَا هُوَ مِثَال للتبييت بل يَكْفِي نِيَّة دُخُوله فِي صَوْم الشَّهْر
(وأكملها) أَي النِّيَّة وَعبارَة الْمِنْهَاج كالمحرر كَمَال التَّعْيِين (نَوَيْت صَوْم غَد عَن أَدَاء فرض رَمَضَان هَذِه السّنة لله تَعَالَى) إِيمَانًا واحتسابا بِإِضَافَة رَمَضَان إِلَى مَا بعْدهَا لتتميز عَن أضدادها ويغني عَن ذكر الْأَدَاء أَن يَقُول عَن هَذَا الرمضان واحتيج لذكره مَعَ هَذِه السّنة وَإِن اتَّحد محترزهما إِذْ فرض غير هَذِه السّنة لَا يكون إِلَّا قَضَاء لِأَن لفظ الْأَدَاء يُطلق وَيُرَاد بِهِ الْفِعْل كَذَا قَالَه الرَّمْلِيّ

وَالثَّانِي الْإِمْسَاك عَن جَمِيع المفطرات الْأَرْبَعَة الْمَذْكُورَة فِي قَوْله (وَيفْطر عَامِدًا عَالم مُخْتَار) فَخرج بالعمد النسْيَان فَلَو أكل أَو شرب نَاسِيا للصَّوْم لَا يضرّهُ لقَوْله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم من نسي وَهُوَ صَائِم فَأكل أَو شرب فليتم صَوْمه فَإِنَّمَا أطْعمهُ الله وسقاه وبالعلم بِالتَّحْرِيمِ الْجَهْل بِهِ إِذا كَانَ جَاهِلا مَعْذُورًا فَلَا يفْطر وبالاختيار الْإِكْرَاه فَلَو أكره حَتَّى أكل أَو شرب لَا يبطل صَوْمه

(بجماع) أَي إِدْخَال حَشَفَة أَو قدرهَا من مقطوعها فرجا قبلا أَو دبرا من آدَمِيّ أَو غَيره أنزل أَو لَا عَامِدًا مُخْتَارًا عَالما بِالتَّحْرِيمِ فَلَا يفْطر بِالْوَطْءِ نَاسِيا للصَّوْم وَإِن تكَرر وَلَا بِالْإِكْرَاهِ مَا لم يكن زنا لِأَنَّهُ لَا يُبَاح بِالْإِكْرَاهِ فيفطر بِهِ وَاعْتمد الْعَلامَة العزيزي الْإِطْلَاق وَقَالَ لَا يفْطر حَيْثُ أكره على الزِّنَا لشُبْهَة الْإِكْرَاه وَالْحُرْمَة من حَيْثُ نفس الْوَطْء وَكَذَا لَو وطىء جَاهِلا بِأَن الْوَطْء مُبْطل للصَّوْم وَكَانَ مَعْذُورًا كَمَا مر وَلَو أَدخل شخص ذكره فِي دبر نَفسه فَإِنَّهُ يفْطر وَيحد وَيفْسد حجه وَيجب عَلَيْهِ الْغسْل وَالْكَفَّارَة فِي الصَّوْم كَمَا نقل عَن البُلْقِينِيّ

(واستمناء) أَي طلب خُرُوج الْمَنِيّ وَهُوَ مُبْطل للصَّوْم مُطلقًا سَوَاء كَانَ بِيَدِهِ أَو بيد حليلته أَو غَيرهمَا بِحَائِل أَو لَا بِشَهْوَة أَو لَا أما إِذا كَانَ الْإِنْزَال من غير طلب خُرُوج الْمَنِيّ فَتَارَة يكون بِمُبَاشَرَة مَا تشتهيه الطباع السليمة أَو لَا فَإِن كَانَ لَا تشتهيه الطباع السليمة كالأمرد الْجَمِيل والعضو المبان فَلَا فطر بالإنزال مُطلقًا سَوَاء كَانَ بِشَهْوَة أَو لَا بِحَائِل أَو لَا وَإِن كَانَ تشتهيه الطباع السليمة فَتَارَة يكون من مَحَارمه وَتارَة لَا فَإِن كَانَ من الْمَحَارِم وَكَانَ بِشَهْوَة وَبِدُون حَائِل أفطر وَإِلَّا فَلَا وَإِن لم يكن من الْمَحَارِم فَإِن كَانَ بِدُونِ حَائِل أفطر سَوَاء كَانَ بِشَهْوَة أَو لَا أما وَإِن كَانَ بِحَائِل وَلَو رَقِيقا جدا فَلَا إفطار وَلَو بِشَهْوَة كَمَا قَالَ
(لَا بِضَم بِحَائِل) وَالْمرَاد بالشهوة أَن يقْصد مُجَرّد اللَّذَّة من غير أَن يقْصد خُرُوج الْمَنِيّ وَإِلَّا كَانَ استمناء وَهُوَ مفطر مُطلقًا كَمَا مر وَخرج بِالْمُبَاشرَةِ النّظر والفكر فَلَو نظر أَو تفكر فأمنى فَلَا فطر مَا لم يكن من عَادَته الْإِنْزَال بذلك وَإِلَّا أفطر وَلَو أحس بانتقال الْمَنِيّ وتهيئه

-----------------------------------
TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN
HAL 186

BAB PUASA
PART 3

وَلَو نوى صَوْم غَد وَهُوَ يَعْتَقِدهُ الْإِثْنَيْنِ فَكَانَ الثُّلَاثَاء ، أَو صَوْم رَمَضَان هَذِه السّنة وَهُوَ يعتقدها سنة ثَلَاث ، فَكَانَت سنة أَربع صَحَّ صَوْمه . وَلَا عِبْرَة بِالظَّنِّ الْبَين خَطؤُهُ

Contoh kasus:

Jika ia berniat puasa esok hari dengan meyakini bahwa esok adalah hari Senin, namun ternyata hari Selasa, atau ia berniat puasa Ramadhan tahun ini dengan keyakinan bahwa tahun ini adalah tahun ketiga, namun ternyata tahun keempat, maka puasanya tetap sah.

Kesalahan dalam prasangka yang jelas keliru tidak memengaruhi keabsahan puasanya.

بخلاف  لَو نوى صَوْم الثُّلَاثَاء لَيْلَة الْإِثْنَيْنِ وَلم يخْطر بِبَالِهِ صَوْم غَد أَو صَوْم رَمَضَان سنة ثَلَاث وَكَانَت سنة أَربع وَلم يخْطر بِبَالِهِ السّنة الْحَاضِرَة فَإِنَّهُ لَا يَصح لِأَنَّهُ لم يعين الْوَقْت الَّذِي نوى فِي ليلته.

 Berbeda Jika seseorang berniat puasa hari Selasa Berniyatnya pada malam Senin, namun tidak terlintas dalam pikirannya untuk berpuasa esok hari atau berpuasa Ramadan tahun ketiga, padahal saat itu adalah tahun keempat, dan dia tidak memikirkan tahun saat ini, maka puasanya tidak sah karena dia tidak menetapkan waktu yang jelas untuk niat puasanya pada malam itu.

 وَلَو نوى صَوْم غَد يَوْم الْأَحَد مثلا وَهُوَ غَيره فَالْأَوْجه الصِّحَّة من الغالط لَا الْعَامِد لتلاعبه

Jika seseorang berniat puasa esok hari (misalnya hari Minggu), padahal hari yang sebenarnya bukan hari tersebut, maka pendapat yang lebih kuat adalah puasanya sah jika kesalahan itu tidak disengaja (karena keliru), namun tidak sah jika disengaja (karena main-main dengan niat).

 وَخرج بِالتَّعْيِينِ مَا لَو نوى الصَّوْم عَن فَرْضه (١ ) أَو عَن فرض وقته(٢ ) فَلَا يَكْفِي  ,   لِأَنَّهُ فِي الأولى يحْتَمل رَمَضَان وَغَيره وَفِي الثَّانِيَة يحْتَمل الْقَضَاء وَالْأَدَاء

Pengecualian dari keharusan menetapkan waktu secara spesifik adalah jika seseorang berniat puasa untuk kewajibannya(1) secara umum atau untuk kewajiban (2) waktu tersebut tanpa merinci apakah itu qadha (mengganti puasa) atau ada' (puasa tepat waktu), maka hal itu tidak mencukupi.

Sebab, dalam kasus pertama(1), niat tersebut bisa berarti puasa Ramadan atau puasa lain, sedangkan dalam kasus kedua(2), bisa berarti qadha atau ada', sehingga niatnya tidak jelas.

وَأَقل التَّعْيِين هُنَا أَن يَنْوِي صَوْم غَد عَن رَمَضَان، وَلَا يشْتَرط التَّعَرُّض للغد بِخُصُوصِهِ لحُصُول التَّعْيِين دونه.   
 كَأَن يَقُول الْخَمِيس مثلا عَن رَمَضَان أَو يَقُول رَمَضَان بِدُونِ ذكر يَوْم.  وَإِنَّمَا هُوَ مِثَال للتبييت . بل يَكْفِي نِيَّة دُخُوله فِي صَوْم الشَّهْر

Dan kadar minimal dalam menentukan niat di sini adalah " seseorang berniat untuk berpuasa esok hari karena Ramadan", dan tidak disyaratkan untuk menyebut hari esok secara khusus guna mendapatkan penentuan niat. Misalnya, seseorang mengatakan,
 "Kamis karena Ramadan," atau hanya menyebut "Ramadan" tanpa menyebut hari tertentu.  Hal ini hanyalah contoh dari niat yang dilakukan di malam hari (tabyit). Bahkan, cukup dengan niat memasukkan dirinya dalam puasa bulan tersebut.

(وأكملها) أَي النِّيَّة وَعبارَة الْمِنْهَاج كالمحرر كَمَال التَّعْيِين  (نَوَيْت صَوْم غَد عَن أَدَاء فرض رَمَضَان هَذِه السّنة لله تَعَالَى)  إِيمَانًا واحتسابا

Dan BENTUK NIYAT yang paling sempurna (dalam puasa) – yaitu niat yang disebutkan dalam kitab al-Minhaj seperti dalam  kitab al-Muharrar – adalah dengan kesempurnaan dalam menentukan (niat), yaitu dengan mengucapkan:
  (نَوَيْت صَوْم غَد عَن أَدَاء فرض رَمَضَان هَذِه السّنة لله تَعَالَى)
"Saya berniat berpuasa esok hari untuk menunaikan kewajiban puasa Ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala,"
 dengan penuh keimanan dan mengharap pahala."

 بِإِضَافَة رَمَضَان إِلَى مَا بعْدهَا,  لتتميز عَن أضدادها.  
 
 Dengan menyandarkan kata Ramadan ke kalimat setelahnya, sehingga dapat dibedakan dari puasa lainnya yang bertentangan dengan romadlon .
 
ويغني عَن ذكر الْأَدَاء أَن يَقُول عَن هَذَا الرمضان,

Dan tidak perlu menyebut kata ada’ (الأداء). Jika seseorang mengatakan bahwa ia berpuasa untuk "Ramadan ini" (رمضان هذا ), maka sudah cukup jelas bahwa puasanya dilakukan dalam waktunya,

👉Dengan kata lain, jika puasa dilakukan dalam bulan Ramadan, itu secara otomatis dianggap ada’, sehingga penyebutan istilah ada’ tidak diperlukan.

واحتيج لذكره مَعَ هَذِه السّنة  وإن اتحد محترزهما.

Namun, jika seseorang menyebut "tahun ini" (هذه السنة) dalam konteks puasa, maka tetap perlu disebutkan apakah itu ada’  ( عن اداء) atau qadha’.( عن قضاء)
dan menyatunya اداء dan هذه السنة

👉Misalnya, jika seseorang mengatakan: "Saya berpuasa untuk tahun ini," bisa jadi maksudnya puasa Ramadan atau puasa qadha’ dari tahun lalu. Oleh karena itu, perlu dijelaskan lebih lanjut.

 إذ فرض غير هذه السنة لا يكون إلا قضاء"

Jika yang dimaksud adalah puasa yang diwajibkan pada selain tahun ini (misalnya puasa Ramadan dari tahun  lalu), maka puasa itu pasti qadha’.

👉Karena puasa Ramadan hanya bisa disebut ada’ jika dilakukan pada Ramadan yang sedang berlangsung. Jika dilakukan di luar Ramadan tahun itu, otomatis masuk kategori qadha’.

"لأن لفظ الأداء يطلق ويراد به الفعل كذا قاله الرمليّ"

Kata ada’ (الأداء) dalam bahasa Arab dapat digunakan dalam arti umum sebagai "pelaksanaan" suatu ibadah.
Namun, dalam istilah fikih, ada’ berarti pelaksanaan dalam waktunya yang ditentukan.
Pendapat ini dikutip dari Imam Al-Ramli, seorang ulama fikih mazhab Syafi'i.

👉Jika seseorang mengatakan "Saya berpuasa Ramadan ini," maka otomatis dipahami sebagai ada’.

👉Jika seseorang menyebut "tahun ini," maka perlu diperjelas apakah itu ada’ atau qadha’.

👉Jika puasa yang dimaksud adalah untuk tahun sebelumnya, maka pasti termasuk qadha’.

👉Kata ada’ dalam fikih berarti pelaksanaan ibadah dalam waktunya, meskipun dalam bahasa umum bisa berarti sekadar "melakukan sesuatu."

وَالثَّانِي الْإِمْسَاك عَن جَمِيع المفطرات الْأَرْبَعَة الْمَذْكُورَة فِي قَوْله (وَيفْطر عَامِدًا عَالم مُخْتَار)

🔷RUKUN PUASA YANG KEDUA
 adalah MENAHAN DIRI dari semua hal yang membatalkan puasa yang empat, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi ﷺ:
"Dan batal puasanya orang yang makan atau minum dengan sengaja, dalam keadaan mengetahui (hukumnya), dan dalam kondisi memilih (tanpa paksaan)."

 فَخرج بالعمد النسْيَان .  فَلَو أكل أَو شرب نَاسِيا للصَّوْم لَا يضرّهُ لقَوْله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم من نسي وَهُوَ صَائِم فَأكل أَو شرب فليتم صَوْمه فَإِنَّمَا أطْعمهُ الله وسقاه .

Maka dikecualikan dari sengaja (عمدًا) adalah lupa (النسيان). Jika seseorang makan atau minum karena lupa sedang berpuasa, maka itu tidak membahayakan puasanya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
"Barang siapa yang lupa dalam keadaan berpuasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum."

وبالعلم بِالتَّحْرِيمِ الْجَهْل بِهِ إِذا كَانَ جَاهِلا مَعْذُورًا فَلَا يفْطر.

Dikecualikan pula dari syarat mengetahui hukum (العلم بالتحريم) adalah orang yang tidak tahu (الجهل به), selama kebodohannya dalam hal ini dapat dimaafkan, maka puasanya tidak batal.

وبالاختيار الْإِكْرَاه فَلَو أكره حَتَّى أكل أَو شرب لَا يبطل صَوْمه

Begitu pula dikecualikan dari syarat "dengan pilihan sendiri" (الاختيار) adalah keadaan terpaksa (الإكراه). Jika seseorang dipaksa untuk makan atau minum, maka puasanya tidak batal.

(بجماع) أَي إِدْخَال حَشَفَة أَو قدرهَا من مقطوعها فرجا قبلا أَو دبرا من آدَمِيّ أَو غَيره أنزل أَو لَا عَامِدًا مُخْتَارًا عَالما بِالتَّحْرِيمِ .

YANG MEMBATALKAN PUASA diantara:
(Dengan jima')—yaitu memasukkan kepala zakar (حشفة) atau seukuran itu jika terpotong, ke dalam kemaluan depan (qubul) atau belakang (dubur), baik dari manusia atau selainnya, baik mengeluarkan mani atau tidak, dengan sengaja, dalam keadaan memilih (tanpa paksaan), dan mengetahui keharamannya.

فَلَا يفْطر بِالْوَطْءِ نَاسِيا للصَّوْم وَإِن تكَرر وَلَا بِالْإِكْرَاهِ مَا لم يكن زنا لِأَنَّهُ لَا يُبَاح بِالْإِكْرَاهِ فيفطر بِهِ .

Maka, tidak batal puasanya jika berjima' karena lupa sedang berpuasa, meskipun berulang kali, dan juga tidak batal jika dilakukan karena dipaksa, kecuali jika itu merupakan perzinaan, karena zina tidak menjadi halal meskipun dalam keadaan terpaksa, sehingga puasanya batal karenanya.

وَاعْتمد الْعَلامَة العزيزي الْإِطْلَاق وَقَالَ لَا يفْطر حَيْثُ أكره على الزِّنَا لشُبْهَة الْإِكْرَاه وَالْحُرْمَة من حَيْثُ نفس الْوَطْء.

Al-‘Allamah al-‘Azizi berpegang pada pendapat yang membiarkan hukum ini secara mutlak, dan beliau berkata bahwa puasa tidak batal jika seseorang dipaksa untuk berzina, karena ada syubhat (ketidakjelasan) dalam paksaan dan karena keharaman zina berasal dari hakikat perbuatannya sendiri.

 وَكَذَا لَو وطىء جَاهِلا بِأَن الْوَطْء مُبْطل للصَّوْم وَكَانَ مَعْذُورًا كَمَا مر .

Begitu juga, jika seseorang melakukan jima' karena tidak tahu bahwa hal itu membatalkan puasa, dan ketidaktahuannya dapat dimaafkan, maka puasanya tidak batal, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

وَلَو أَدخل شخص ذكره فِي دبر نَفسه فَإِنَّهُ يفْطر وَيحد وَيفْسد حجه وَيجب عَلَيْهِ الْغسْل وَالْكَفَّارَة فِي الصَّوْم,  كَمَا نقل عَن البُلْقِينِيّ

Jika seseorang memasukkan zakarnya sendiri ke dalam duburnya sendiri, maka puasanya batal, ia dikenakan hukuman hadd, hajinya menjadi rusak, serta ia wajib mandi junub dan membayar kafarat dalam puasanya. Demikianlah yang dinukil dari Imam al-Bulqini.

(وَاسْتِمْنَاء) أَي طَلَب خُرُوج الْمَنِيّ"

(Istimna’) yaitu mencari keluarnya mani.

"وَهُوَ مُبْطِلٌ لِلصَّوْمِ مُطْلَقًا سَوَاء كَانَ بِيَدِهِ أَوْ بِيَدِ حَلِيلَتِهِ أَوْ غَيْرِهِمَا بِحَائِلٍ أَوْ لَا بِشَهْوَةٍ أَوْ لَا"

 Dan hal itu membatalkan puasa secara mutlak, baik dilakukan dengan tangannya sendiri, tangan istrinya, atau tangan orang lain, baik dengan penghalang (seperti kain) atau tanpa penghalang, baik dengan syahwat atau tidak.

"أَمَّا إِذَا كَانَ الْإِنْزَالُ مِنْ غَيْرِ طَلَبِ خُرُوجِ الْمَنِيِّ"

 Adapun jika keluarnya mani terjadi tanpa adanya usaha untuk mengeluarkannya,

"فَتَارَةً يَكُونُ بِمُبَاشَرَةِ مَا تَشْتَهِيهِ الطِّبَاعُ السَّلِيمَةُ أَوْ لَا"
maka terkadang terjadi karena bersentuhan dengan sesuatu yang diinginkan oleh naluri yang sehat, atau tidak.

"فَإِنْ كَانَ لَا تَشْتَهِيهِ الطِّبَاعُ السَّلِيمَةُ كَالْأَمْرَدِ الْجَمِيلِ وَالْعُضْوِ الْمُبَانِ فَلَا فِطْرَ بِالْإِنْزَالِ مُطْلَقًا سَوَاء كَانَ بِشَهْوَةٍ أَوْ لَا بِحَائِلٍ أَوْ لَا"

 Jika itu sesuatu yang tidak diinginkan oleh naluri yang sehat, seperti anak muda tampan (dalam konteks yang tidak wajar) atau anggota tubuh yang terpisah (seperti tangan yang terpotong), maka keluarnya mani tidak membatalkan puasa secara mutlak, baik dengan syahwat atau tidak, baik dengan penghalang atau tidak.

"وَإِنْ كَانَ تَشْتَهِيهِ الطِّبَاعُ السَّلِيمَةُ فَتَارَةً يَكُونُ مِنْ مَحَارِمِهِ وَتَارَةً لَا"

 Namun, jika itu adalah sesuatu yang memang diinginkan oleh naluri yang sehat, maka terkadang itu terjadi dengan seseorang yang termasuk mahramnya, dan terkadang tidak.

"فَإِنْ كَانَ مِنَ الْمَحَارِمِ وَكَانَ بِشَهْوَةٍ وَبِدُونِ حَائِلٍ أَفْطَرَ وَإِلَّا فَلَا"

 Jika terjadi dengan mahramnya, serta dengan syahwat dan tanpa penghalang, maka puasanya batal. Jika tidak demikian, maka tidak batal.

"وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنَ الْمَحَارِمِ فَإِنْ كَانَ بِدُونِ حَائِلٍ أَفْطَرَ سَوَاء كَانَ بِشَهْوَةٍ أَوْ لَا"

 Jika terjadi dengan seseorang yang bukan mahramnya, maka jika tanpa penghalang, puasanya batal, baik dengan syahwat atau tidak.

"أَمَّا وَإِنْ كَانَ بِحَائِلٍ وَلَوْ رَقِيقًا جِدًّا فَلَا إِفْطَارَ وَلَوْ بِشَهْوَةٍ"

Namun, jika ada penghalang, meskipun sangat tipis, maka puasanya tidak batal, sekalipun dengan syahwat.

Kesimpulan:
Istimna' (masturbasi) secara mutlak membatalkan puasa, baik dengan tangan sendiri, pasangan, atau orang lain, baik dengan atau tanpa penghalang, serta baik dengan syahwat atau tidak.
Jika mani keluar tanpa usaha, hukumnya berbeda-beda tergantung penyebabnya:
👉Jika tidak dari sesuatu yang diinginkan oleh naluri yang sehat, maka tidak membatalkan puasa.
👉Jika berasal dari sesuatu yang secara naluri menarik, maka hukumnya berbeda tergantung pada hubungan dan adanya penghalang.
👉Jika terjadi dengan mahram dan tanpa penghalang serta dengan syahwat, maka puasanya batal.
👉Jika dengan non-mahram dan tanpa penghalang, maka puasanya batal.
👉Jika ada penghalang (meskipun tipis), maka puasanya tetap sah, meskipun dengan syahwat.

"لَا بِضَمّ بِحَائِلٍ"

Tidak (batal puasa) dengan sekadar berpelukan jika ada penghalang.

"وَالْمُرَادُ بِالشَّهْوَةِ أَنْ يَقْصِدَ مُجَرَّدَ اللَّذَّةِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقْصِدَ خُرُوجَ الْمَنِيِّ، وَإِلَّا كَانَ اسْتِمْنَاءً، وَهُوَ مُفْطِرٌ مُطْلَقًا كَمَا مَرَّ"

 Yang dimaksud dengan syahwat adalah seseorang hanya berniat merasakan kenikmatan tanpa bermaksud mengeluarkan mani. Jika dia berniat mengeluarkan mani, maka itu dianggap sebagai istimna’ (masturbasi), yang membatalkan puasa secara mutlak, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

"وَخَرَجَ بِالْمُبَاشَرَةِ النَّظَرُ وَالْفِكْرُ"

 Dikecualikan dari kategori mubasyarah (kontak fisik) adalah nadzar (melihat) dan fikr (berpikir).

"فَلَوْ نَظَرَ أَوْ تَفَكَّرَ فَأَمْنَى فَلَا فِطْرَ مَا لَمْ يَكُنْ مِنْ عَادَتِهِ الْإِنْزَالُ بِذَلِكَ، وَإِلَّا أَفْطَرَ"

Maka, jika seseorang melihat sesuatu atau berpikir hingga keluar mani, puasanya tidak batal selama bukan kebiasaannya untuk mengeluarkan mani dengan cara tersebut. Namun, jika itu memang kebiasaannya, maka puasanya batal.

"وَلَوْ أَحَسَّ بِانْتِقَالِ الْمَنِيِّ وَتَهَيُّئِهِ لِلْخُرُوجِ بِسَبَبِ النَّظَرِ فَاسْتَدَامَهُ حَتَّى أَنْزَلَ، أَفْطَرَ قَطْعًا"

 Jika seseorang merasakan bahwa mani mulai bergerak dan bersiap untuk keluar karena pandangan, lalu ia terus-menerus melihat hingga akhirnya keluar mani, maka puasanya batal dengan pasti.

Kesimpulan:
👉Pelukan dengan penghalang tidak membatalkan puasa.
👉Syahwat yang hanya untuk kenikmatan tanpa niat mengeluarkan mani tidak membatalkan puasa. Namun, jika berniat mengeluarkan mani, maka itu dianggap istimna’ (masturbasi), yang membatalkan puasa.
👉Melihat atau berpikir hingga keluar mani tidak membatalkan puasa, kecuali jika itu sudah menjadi kebiasaan.
👉Jika seseorang merasakan mani akan keluar karena melihat sesuatu, lalu ia terus melihat hingga benar-benar keluar, maka puasanya batal dengan pasti.

والله اعلم بالصواب

TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN HAL 187 BAB PUASA PART 4

 TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN
HAL 187

BAB PUASA
PART 4

كتاب نهاية الزين
[نووي الجاوي]

فهرس الكتاب  باب الصوم
 
 
وَلَا يضر نُزُوله فِي النّوم وَيحرم نَحْو اللَّمْس كالقبلة إِن حرك شَهْوَته خوف الْإِنْزَال وَإِلَّا فَتَركه أولى
وَمن خصوصياته صلى الله عَلَيْهِ وَسلم جَوَاز الْقبْلَة فِي الصَّوْم الْمَفْرُوض مَعَ قُوَّة شَهْوَته لِأَنَّهُ كَانَ أملك النَّاس لإربه


 (واستقاءة) أَي طلب قيء عمدا مُخْتَارًا عَالما بِالتَّحْرِيمِ كَمَا مر وَإِن تَيَقّن أَنه لم يرجع شَيْء إِلَى جَوْفه كَأَن تقايأ مُنَكسًا وَمن الْقَيْء مَا لَو دخلت ذُبَابَة جَوْفه فأخرجها وكالقيء التجشي فَإِن تَعَمّده وَخرج شَيْء من معدته إِلَى حد الظَّاهِر أفطر وَلَو كَانَ نَاسِيا للصَّوْم أَو مكْرها كَمَا لَو غَلبه الْقَيْء أَو جَاهِلا مَعْذُورًا فَلَا فطر وَيسْتَثْنى من الْقَيْء مَا لَو اقتلع نخامة من الْبَاطِن ورماها سَوَاء قلعهَا من دماغه أَو من بَاطِنه لِأَن الْحَاجة إِلَى ذَلِك تَتَكَرَّر وَإِلَى ذَلِك أَشَارَ بقوله


(لَا بقلع نخامة) وَلَو نزلت من دماغه أَو خرجت من جَوْفه ووصلت إِلَى حد الظَّاهِر وَجب قلعهَا ومجها ويعفى عَمَّا أَصَابَته لَو كَانَت نَجِسَة فَإِن تَركهَا مَعَ الْقُدْرَة على ذَلِك فَرَجَعت إِلَى حد الْبَاطِن أفطر لتَقْصِيره وَلَو كَانَ فِي فرض صَلَاة وَلم يقدر على مجها إِلَّا بِظُهُور حرفين فَأكْثر لم تبطل صلَاته بل يتَعَيَّن ذَلِك مُرَاعَاة لمصلحتها كالتنحنح لتعذر الْقِرَاءَة الْوَاجِبَة وحد الظَّاهِر هُوَ مخرج الْخَاء الْمُعْجَمَة عِنْد الرَّافِعِيّ والحاء الْمُهْملَة عِنْد النَّوَوِيّ وَهُوَ الْمُعْتَمد فَإِن لم تصل إِلَى حد الظَّاهِر الْمَذْكُور بِأَن كَانَت دَاخِلا عَمَّا ذكر أَو حصلت فِي حد الظَّاهِر وَلم يقدر على قلعهَا ومجها لم يضر


وَلَو أصبح وَفِي فَمه خيط مُتَّصِل بجوفه كَأَن أكل بِاللَّيْلِ كنافة وَبَقِي مِنْهَا خيط بفمه تعَارض عَلَيْهِ حِينَئِذٍ الصَّوْم وَالصَّلَاة لبُطْلَان الصَّوْم بابتلاعه لِأَنَّهُ أكل أَو نَزعه لِأَنَّهُ استقاء ولبطلان الصَّلَاة بِبَقَائِهِ لاتصاله بِنَجَاسَة الْبَاطِن فطريق خلاصه أَن يَنْزعهُ مِنْهُ غَيره وَهُوَ غافل فَإِن لم يكن غافلا وَتمكن من دفع النازع أفطر إِذْ النزع مُوَافق لغَرَض النَّفس فَهُوَ حِينَئِذٍ مَنْسُوب إِلَيْهِ

قَالَ الزَّرْكَشِيّ وَقد لَا يطلع عَلَيْهِ عَارِف بِهَذَا الطَّرِيق وَيُرِيد الْخَلَاص فطريقه أَن يجْبرهُ الْحَاكِم على نَزعه وَلَا يفْطر لِأَنَّهُ كالمكره وَحَيْثُ لم يتَّفق لَهُ شَيْء من ذَلِك وَجب عَلَيْهِ نَزعه أَو ابتلاعه مُحَافظَة على الصَّلَاة لِأَن حكمهَا أغْلظ لقتل تاركها
وَقَالَ بَعضهم يتَعَيَّن عَلَيْهِ بلعه فِي هَذِه الْحَالة وَلَا يُخرجهُ لِأَنَّهُ ينجس فَمه

(وَدخُول عين) من أَعْيَان الدُّنْيَا وَإِن قلت كسمسمة أَو لم تُؤْكَل كحصاة (جوفا) أَي يفْطر صَائِم بوصول عين من تِلْكَ إِلَى مُطلق الْجوف من منفذ مَفْتُوح مَعَ الْعمد وَالِاخْتِيَار وَالْعلم بِالتَّحْرِيمِ وَمن الْعين الحقنة وَمِنْهَا الدُّخان الْمَعْرُوف بِخِلَاف دُخان البخور لِأَن شَأْنه الْقلَّة وَأما أَعْيَان الْجنَّة فَلَا تفطر وَالْمرَاد بِمُطلق الْجوف كل مَا يُسمى جوفا وَإِن لم يكن فِيهِ قُوَّة إِحَالَة الْغذَاء والدواء كحلق وباطن أذن وإحليل ومثانة فَلَو أَدخل عودا فِي أُذُنه أَو إحليله فوصل إِلَى الْبَاطِن أفطر وَيَنْبَغِي الِاحْتِرَاز حَالَة الِاسْتِنْجَاء لِأَنَّهُ مَتى أَدخل من أُصْبُعه أدنى شَيْء فِي دبره أفطر وَكَذَا لَو فعل بِهِ غَيره ذَلِك بِاخْتِيَارِهِ مَا لم يتَوَقَّف خُرُوج الْخَارِج على إِدْخَال أُصْبُعه فِي دبره وَإِلَّا أدخلهُ وَلَا فطر

وَضَابِط دُخُول الْمُفطر أَن يصل الدَّاخِل إِلَى مَا لَا يجب غسله فِي الِاسْتِنْجَاء بِخِلَاف مَا يجب غسله فِيهِ فَلَا يفْطر إِذا أَدخل أُصْبُعه ليغسل
-----------------------------------
TERJEMAH KITAB NIHAYATUZZAEN
HAL 187

BAB PUASA
PART 4



YANG MEMBATALKAN PUASA

وَلَا يضر نُزُوله فِي النّوم.

Dan tidak membatalkan (puasa) jika keluarnya sperma saat tidur (mimpi basah).

 وَيحرم نَحْو اللَّمْس كالقبلة إِن حرك شَهْوَته خوف الْإِنْزَال وَإِلَّا فَتَركه أولى.

Yang diharamkan melakukan hal-hal seperti menyentuh, adalah mencium, dan sejenisnya jika hal tersebut membangkitkan syahwat serta dikhawatirkan menyebabkan keluarnya mani.
Jika tidak demikian (dikhawatirkan menyebabkan keluarnya mani. ) , maka meninggalkannya lebih utama.

وَمن خصوصياته صلى الله عَلَيْهِ وَسلم جَوَاز الْقبْلَة فِي الصَّوْم الْمَفْرُوض مَعَ قُوَّة شَهْوَته لِأَنَّهُ كَانَ أملك النَّاس لإربه

Di antara keistimewaan Nabi ﷺ adalah kebolehan mencium (istri) saat puasa wajib, meskipun beliau memiliki syahwat yang kuat, karena beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan dirinya.

 (واستقاءة) أَي طلب قيء عمدا مُخْتَارًا عَالما بِالتَّحْرِيمِ كَمَا مر

YANG MEMBATALKAN PUASA
"وَاسْتِقَاءَةُ"
 berarti meminta atau berusaha untuk muntah dengan sengaja, dalam keadaan sadar, dan mengetahui keharamannya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

 وَإِن تَيَقّن أَنه لم يرجع شَيْء إِلَى جَوْفه كَأَن تقايأ مُنَكسًا
Meskipun  seseorang yakin bahwa tidak ada sesuatu pun yang kembali masuk ke dalam perutnya—misalnya, jika ia muntah dalam keadaan menunduk—kalau disengaja maka puasanya tidak sah.

 وَمن الْقَيْء مَا لَو دخلت ذُبَابَة جَوْفه فأخرجها,  وكالقيء التجشي فَإِن تَعَمّده وَخرج شَيْء من معدته
إِلَى حد الظَّاهِر أفطر.

Termasuk dalam kategori muntah adalah jika seekor lalat masuk ke dalam perutnya lalu ia mengeluarkannya. Begitu pula dengan sendawa yang menyebabkan keluarnya sesuatu dari perut.
Jika seseorang sengaja bersendawa hingga sesuatu keluar dari perutnya sampai ke batas luar (mulut), maka puasanya batal.

 وَلَو كَانَ نَاسِيا للصَّوْم أَو مكْرها كَمَا لَو غَلبه الْقَيْء أَو جَاهِلا مَعْذُورًا فَلَا فطر .

Namun, jika hal itu terjadi karena lupa bahwa ia sedang berpuasa, atau karena dipaksa, atau karena muntah yang tidak disengaja, atau karena ketidaktahuan yang dapat dimaafkan, maka puasanya tidak batal.

وَيسْتَثْنى من الْقَيْء مَا لَو اقتلع نخامة من الْبَاطِن ورماها سَوَاء قلعهَا من دماغه أَو من بَاطِنه , لِأَن الْحَاجة إِلَى ذَلِك تَتَكَرَّر .  وَإِلَى ذَلِك أَشَارَ بقوله

Dikecualikan dari kategori muntah adalah jika seseorang mengeluarkan dahak dari dalam tubuhnya, baik dari otaknya maupun dari bagian dalam tubuhnya, lalu membuangnya. Hal ini diperbolehkan karena kebutuhan untuk melakukannya sering terjadi. Hal ini juga disinggung dalam perkataannya berikutnya.

(لَا بقلع نخامة) وَلَو نزلت من دماغه أَو خرجت من جَوْفه ووصلت إِلَى حد الظَّاهِر .
وَجب قلعهَا ومجها.

Tidak termasuk dalam kategori muntah adalah mengeluarkan dahak, bahkan jika dahak tersebut turun dari otak atau keluar dari perut dan mencapai batas luar (mulut).
Dalam kondisi ini, wajib mengeluarkannya dan meludahkannya.

 ويعفى عَمَّا أَصَابَته لَو كَانَت نَجِسَة.

Jika dahak tersebut najis, maka dimaafkan apa yang terkena olehnya.

 فَإِن تَركهَا مَعَ الْقُدْرَة على ذَلِك فَرَجَعت إِلَى حد الْبَاطِن أفطر لتَقْصِيره .

Namun, jika seseorang sengaja membiarkannya padahal ia mampu mengeluarkannya, lalu dahak itu kembali masuk ke dalam tubuhnya, maka puasanya batal karena kelalaiannya.

وَلَو كَانَ فِي فرض صَلَاة وَلم يقدر على مجها إِلَّا بِظُهُور حرفين فَأكْثر لم تبطل صلَاته. بل يتَعَيَّن ذَلِك مُرَاعَاة لمصلحتها كالتنحنح لتعذر الْقِرَاءَة الْوَاجِبَة.

Jika seseorang sedang dalam shalat wajib dan tidak dapat meludahkannya kecuali dengan mengucapkan dua huruf atau lebih, maka shalatnya tetap sah, bahkan mengeluarkannya menjadi keharusan demi menjaga keabsahan shalat, sebagaimana halnya seseorang yang berdeham karena tidak mampu membaca bacaan wajib dalam shalat.

 وحد الظَّاهِر هُوَ مخرج الْخَاء الْمُعْجَمَة عِنْد الرَّافِعِيّ والحاء الْمُهْملَة عِنْد النَّوَوِيّ وَهُوَ الْمُعْتَمد .

Batas luar tenggorokan (zhahir) dalam hal ini menurut Ar-Rafi‘i adalah tempat keluarnya huruf "kha" (خ), sedangkan menurut An-Nawawi adalah tempat keluarnya huruf "ha" (ح), dan pendapat yang dipegang adalah yang kedua.

 فَإِن لم تصل إِلَى حد الظَّاهِر الْمَذْكُور بِأَن كَانَت دَاخِلا عَمَّا ذكر أَو حصلت فِي حد الظَّاهِر وَلم يقدر على قلعهَا ومجها لم يضر

 Jika dahak tidak mencapai batas luar yang disebutkan, yakni masih berada di dalam tubuh, atau jika telah mencapai batas luar tetapi seseorang tidak mampu mengeluarkannya dan meludahkannya, maka hal itu tidak membatalkan puasa.

وَلَو أصبح وَفِي فَمه خيط مُتَّصِل بجوفه كَأَن أكل بِاللَّيْلِ كنافة وَبَقِي مِنْهَا خيط بفمه تعَارض عَلَيْهِ حِينَئِذٍ الصَّوْم وَالصَّلَاة .  لبُطْلَان الصَّوْم بابتلاعه لِأَنَّهُ أكل أَو نَزعه لِأَنَّهُ استقاء.

👉Jika seseorang memasuki waktu subuh dalam keadaan ada seutas benang yang masih tersambung ke dalam perutnya—seperti jika ia makan kunafa pada malam hari dan ada seratnya yang tersisa di mulutnya—maka saat itu terjadi pertentangan antara puasa dan shalat.
Jika ia menelannya, puasanya batal karena dianggap makan.
Jika ia mencabutnya sendiri, puasanya juga batal karena dianggap muntah secara sengaja.

 ولبطلان الصَّلَاة بِبَقَائِهِ لاتصاله بِنَجَاسَة الْبَاطِن فطريق خلاصه أَن يَنْزعهُ مِنْهُ غَيره وَهُوَ غافل.

👉Jika dibiarkan, shalatnya batal karena benang tersebut masih tersambung dengan najis di dalam tubuh.
Cara untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan meminta orang lain mencabutnya saat ia dalam keadaan lalai (tidak sadar).

 فَإِن لم يكن غافلا وَتمكن من دفع النازع أفطر.  

Jika ia tidak lalai dan mampu mencegah orang lain mencabutnya tetapi tetap membiarkan hal itu terjadi, maka puasanya batal.

 إِذْ النزع مُوَافق لغَرَض النَّفس فَهُوَ حِينَئِذٍ مَنْسُوب إِلَيْهِ

Sebab, pencabutan tersebut sesuai dengan keinginannya, sehingga perbuatan itu dianggap berasal darinya.

قَالَ الزَّرْكَشِيّ وَقد لَا يطلع عَلَيْهِ عَارِف بِهَذَا الطَّرِيق وَيُرِيد الْخَلَاص .  فطريقه أَن يجْبرهُ الْحَاكِم على نَزعه وَلَا يفْطر لِأَنَّهُ كالمكره .

Al-Zarkashi berkata: Terkadang seseorang tidak mengetahui solusi ini (meminta orang lain mencabutnya) dan ingin melepaskan diri dari masalah tersebut. Maka caranya adalah hakim memaksanya untuk mencabutnya, dan dalam hal ini puasanya tidak batal karena ia dianggap seperti orang yang dipaksa.

وَحَيْثُ لم يتَّفق لَهُ شَيْء من ذَلِك وَجب عَلَيْهِ نَزعه أَو ابتلاعه مُحَافظَة على الصَّلَاة لِأَن حكمهَا أغْلظ لقتل تاركها.

Namun, jika tidak ada solusi seperti itu yang tersedia, maka ia wajib mencabut atau menelannya demi menjaga keabsahan shalat, karena hukum shalat lebih berat, mengingat orang yang meninggalkannya bisa terkena hukuman mati.

وَقَالَ بَعضهم يتَعَيَّن عَلَيْهِ بلعه فِي هَذِه الْحَالة وَلَا يُخرجهُ لِأَنَّهُ ينجس فَمه

Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam keadaan seperti ini, ia wajib menelannya dan tidak mengeluarkannya, karena jika dikeluarkan, mulutnya akan menjadi najis.

(وَدخُول عين) من أَعْيَان الدُّنْيَا وَإِن قلت كسمسمة أَو لم تُؤْكَل كحصاة .

🔶🔷YANG MEMBATALKAN PUASA
Adalah  Masuknya benda dari benda-benda duniawi—meskipun sedikit, seperti biji wijen, atau sesuatu yang tidak dapat dimakan, seperti kerikil

(جوفا) أَي يفْطر صَائِم بوصول عين من تِلْكَ إِلَى مُطلق الْجوف من منفذ مَفْتُوح مَعَ الْعمد وَالِاخْتِيَار وَالْعلم بِالتَّحْرِيمِ.

—ke dalam tubuh (jauf) akan membatalkan puasa, asalkan benda tersebut masuk melalui lubang yang terbuka, dilakukan dengan sengaja, dalam keadaan sadar, dan mengetahui keharamannya.

 وَمن الْعين الحقنة وَمِنْهَا الدُّخان الْمَعْرُوف بِخِلَاف دُخان البخور لِأَن شَأْنه الْقلَّة .  وَأما أَعْيَان الْجنَّة فَلَا تفطر .
👉Termasuk dalam kategori benda ini adalah suntikan, serta asap yang dikenal (seperti rokok). Berbeda dengan asap dupa (bukhur), karena biasanya jumlahnya sedikit.
Adapun benda-benda dari surga, maka tidak membatalkan puasa.

وَالْمرَاد بِمُطلق الْجوف كل مَا يُسمى جوفا وَإِن لم يكن فِيهِ قُوَّة إِحَالَة الْغذَاء والدواء كحلق وباطن أذن وإحليل ومثانة .

👉Yang dimaksud dengan "tubuh bagian dalam" (jauf) adalah setiap bagian yang disebut "dalam," meskipun tidak memiliki fungsi pencernaan makanan atau obat, seperti tenggorokan, bagian dalam telinga, saluran kemih (uretra), dan kandung kemih.

فَلَو أَدخل عودا فِي أُذُنه أَو إحليله فوصل إِلَى الْبَاطِن أفطر .
👉Oleh karena itu, jika seseorang memasukkan kayu ke dalam telinganya atau ke dalam uretranya hingga mencapai bagian dalam, maka puasanya batal.

وَيَنْبَغِي الِاحْتِرَاز حَالَة الِاسْتِنْجَاء لِأَنَّهُ مَتى أَدخل من أُصْبُعه أدنى شَيْء فِي دبره أفطر.

👉Saat bersuci (istinja), seseorang harus berhati-hati, karena jika ia memasukkan ujung jarinya sedikit saja ke dalam duburnya, puasanya batal.

 وَكَذَا لَو فعل بِهِ غَيرُه ذَلِك بِاخْتِيَارِهِ .

👉Demikian pula, jika orang lain melakukan itu kepadanya dengan persetujuannya, maka puasanya batal.

مَا لم يتَوَقَّف خُرُوج الْخَارِج على إِدْخَال أُصْبُعه فِي دبره وَإِلَّا أدخلهُ وَلَا فطر

Namun, jika mengeluarkan sesuatu dari dubur hanya bisa dilakukan dengan memasukkan jari, maka ia boleh melakukannya tanpa membatalkan puasanya.

وَضَابِط دُخُول الْمُفطر أَن يصل الدَّاخِل إِلَى مَا لَا يجب غسله فِي الِاسْتِنْجَاء.  

👉📌Batasan masuknya sesuatu yang membatalkan puasa adalah ketika benda yang masuk mencapai bagian dalam tubuh yang tidak wajib dicuci saat istinja (bersuci setelah buang air).

بِخِلَاف مَا يجب غسله فِيهِ فَلَا يفْطر إِذا أَدخل أُصْبُعه ليغسل الطيات فيه.

🔶📌Sebaliknya, jika benda yang masuk hanya mencapai bagian yang wajib dicuci dalam istinja—seperti ketika seseorang memasukkan jarinya untuk membersihkan lipatan-lipatan dalam dubur—maka hal itu tidak membatalkan puasa.

والله اعلم بالصواب

Bantu Siapa pun yang Membutuhkan

  Bantu Siapa pun yang Membutuhkan الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْ...