Finalisasi
Corona Dengan IMANISASI dan IMUNISASI
Islam datang dengan kesempurnaan nilai dan sistem.
Segala sesuatu telah diatur begitu indah nan sempurna dalam dua warisan insan
termulia Nabi Agung Muhammad Saw., yaitu al-Qur’an dan Hadits. Rasulullah Saw
bersabda: “Aku telah meninggalkan dua perkara yang engkau tidak akan
tersesat selama mau berpegang teguh pada keduanya, yaitu: Kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya”. Kedua dasar ini laksana bintang gumintang yang menjadi penunjuk
arah bagi para musafir. Barangsiapa yang memahaminya pasti dia tidak akan salah
jalan. Allah telah memberi aturan-aturan yang lengkap jika kita mau
renungkannya. Misalnya tentang sesuatu yang kita lakukan sehari-hari, yaitu
makan. Allah Swt. Berfirman: “Hai para manusia, makanlah yang halal lagi
baik dari apa yang ada di bumi”
Berangkat dari perintah Allah di atas, maka
kita akan tahu bahwa segala sesuatu di bumi boleh dimakan, asalkan memiliki dua
sifat, yaitu halal dan thayyib. Makna (Øَلاَلاً ) yaitu segala sesuatu yang cara
memperolehnya dibenarkan oleh syariat. Serta wujud barangnya juga telah
dibenarkan oleh syariat. Nasi, dari segi barang adalah barang yang dihalalkan
syariat. Namun bisa jadi haram jika cara memperolehnya dengan cara mencuri.
Dan khamer (miras) adalah barang yang sifatnya haram
meski khamer itu dibeli dengan uang yang halal.
Maka khamer itu akan tetap haram meski diperoleh dengan cara yang
baik. Inilah makna dari (Øَلاَلاً ). Sedangkan lafadz (Ø·َÙŠِّباً ) Tayyib adalah lawan
dari khabits atau menjijikkan. Adapun maknanya adalah perkara yang
baik secara akal maupun fitrahnya. Misalnya mengkonsumsi nasi. Nasi menjadi
thayyib karena dapat menguatkan tubuh manusia. Lalu bagaimana dengan khomer
atau minuman keras?. Secara akal atau nalar, minuman keras itu buruk karena
membahayakan manusia. Sehingga khomer bukanlah perkara yang tayyib namun
khabits.
Kasus wabah virus corona yang menimpa dunia
saat ini adalah bagian dari bencana non alam. Dalam perspektif ajaran Islam,
bencana dapat dimaknai sebagai musibah yang bisa menimpa kepada siapa saja,
kapan dan di mana saja. Musibah adalah keniscayaan yang harus dihadapi oleh
setiap manusia dan sesungguhnya merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada
manusia. Berbagai peristiwa yang menimpa manusia pada hakikatnya merupakan ujian
dan cobaan atas keimanan dan perilaku yang telah dilakukan oleh manusia itu
sendiri. Sebagai bagian dari bencana, maka kasus virus corona ini harus
disikapi secara cepat dan tepat. Seluruh pihak harus memiliki kepedulian untuk
terlibat aktif dalam pencegahan penyebaran virus ini. Walau penanganan bencana
itu menjadi otoritas pemerintah, kita sebagai anggota masyarakat tidak boleh
bersikap masa bodoh dan berdiam diri memikirkan diri sendiri. Sebagai seorang
manusia harus saling tolong menolong satu sama lain, tanpa mengenal latar
belakang suku, ras maupun agama. Sesama manusia kita harus memiliki sikap
empati dan simpati kepada para korban, sehingga kita senantiasa menjauhkan
diri dari sikap menghakimi dan menyalahkan korban. Dalam penyebaran virus corona,
kita harus mampu menjadi pribadi yang bisa memutus mata rantai penyebaran virus
itu. Secara bersama kita perlu membangun kesadaran, pemahaman dan sikap yang
sama untuk secara aktif terlibat dalam mencegah penyebaran virus corona semakin
meluas, sehingga semakin mempercepat wabah ini berakhir.
Ada dua hal penting yang harus ditingkatkan
untuk dijadikan benteng pertahanan dari virus corona ini, yaitu IMANISASI
dan IMUNISASI. IMANISASI, yaitu menguatkan iman bahwa segala
sesuatu yang terjadi sudah ditetapkan oleh Allah swt sejak zaman azali,
sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidak sempurna iman seseorang sehingga dia
meyakini bahwa apa yang akan menimpa dirinya tidak akan pernah salah alamat
kepada orang lain, dan apapun yang akan ditimpakan kepada orang lain dan bukan
untuk dirinya sendiri tidak akan mungkin mengenai dirinya”. Iman yang kuat akan
menuntunkan kita pada sikap hidup yang optimis dan yakin akan pertolongan
Allah. Seorang muslim yang istiqomah dalam iman kepada Allah, maka akan
ditiadakan rasa takut dalam dirinya. Sebagaimana firman Allah dalam surat
Fushilat ayat 30: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata bahwa Tuhan kami
adalah Allah dan mereka istiqomah, maka malaikat akan turun kepada mereka dan
berkata; “janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan
bergembiralah kamu memperoleh surga yang telah dijanjikan kepadamu”
Iman yang kuat akan menuntun pula pada sikap
sabar. Bersabar bagi seorang muslim hakekatnya adalah kesadaran bahwa keburukan
yang terjadi pada dirinya adalah rahmat Allah dan selanjutnya dia akan berusaha
untuk merubah kondisi buruk yang dihadapi sekarang untuk menciptakan
kebaikan-kebaikan di masa yang akan datang. Kebaikan yang dilakukan tidak hanya
setelah musibah terjadi, tetapi lebih dari seorang muslim akan berusaha
semaksimal mungkin menciptakan kebaikan-kebaikan jauh sebelum musibah itu
terjadi.
Setelah kualitas iman serta kematangan ilmu
agama yang matang, maka hal selanjutnya yang perlu ditingkatkan adalah
IMUNISASI. IMUNISASI, yaitu sesuatu yang bersifat lahiriyah jasmaniyah
(medis), artinya bagaimana kita memelihara kesehatan fisik dengan cara rajin
berolahraga, bergerak, bahkan seluruh anggota tubuh kita harus difungsikan
dengan baik, mulai dari mulut dengan cara banyak membaca al Qur’an, berzikir,
bershalawat, dan hal-hal baik lainnya sehingga nantinya akan berpengaruh tidak
hanya pada penguatan diri tetapi akan bisa berpengaruh untuk menjinakkan virus
corona yang sangat ditakutkan oleh dunia saa ini. Di samping itu, imunisasi
diri secara material dengan mempergunakan alat-alat medis atau rempah-rempah
yang ada di sekitar kita.
Di samping IMANISASI dan IMUNISASI, diantara
hal-hal yang dapat kita lakukan sebagai seorang muslim dan sekaligus bagian
dari anggota masyarakat dalam pencegahan wabah virus corona ini adalah sebagai
berikut: Pertama, Mengisolasi
diri, menahan diri untuk tidak beraktifitas dengan banyak orang. Nabi
Muhammad SAW telah bersabda: “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah,
maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu
berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari). Hadits ini
mengajarkan bahwa kita harus berusaha menghindari keburukan yang mungkin
terjadi dari suatu wabah yang sedang berkembang di suatu wilayah. Mengisolasi
dan menahan diri untuk tidak bertemu dengan orang banyak dan atau untuk tidak
bepergian, terlebih ke daerah yang endemic merupakan suatu pilihan yang harus
diambil oleh setiap muslim. Dengan kata lain, sebagai seorang muslim dituntut
untuk mampu melakukan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana sehingga dapat
mengurangi resiko bencana, terutama terkait korban manusia. Adapun terkait
kegiatan ibadah di masjid atau musholla. Upaya pembatasan kegiatan ibadah
berjama’ah dan pengajian di masjid atau musholla bukanlah untuk menjauhkan umat
Islam dari masjid. Tetapi justru ini sebagai ikhtiar menjemput takdir Allah
yang lain. Dalam sebuah hadits dari Imam Bukhori diriwayatkan bahwa Umar sedang
dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilayah bernama Sargh. Saat itu
Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf kemudian
mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah berkata: “Jika kamu
mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika
terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.”
Mendengar hadits tersebut, Umar memilih kembali ke Madinah. Keputusan Umar
sempat disangsikan Abu Ubaidah bin Jarrah. Dia adalah pemimpin rombongan yang
dibawa Khalifah Umar. Menurut Abu Ubaidah, Umar tak seharusnya kembali karena
bertentangan dengan perintah Allah SWT. Umar menjawab dia tidak melarikan diri
dari ketentuan Allah SWT, namun menuju ketentuanNya yang lain. Jawaban
Abdurrahman bin Auf ikut menguatkan keputusan khalifah tidak melanjutkan
perjalanan karena wabah penyakit.
Dalam fatwa terbarunya, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) menetapkan hukum Tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi
Wabah Covid-19. Berdasarkan fatwa itu, hukum shalat Jumat saat terjadinya wabah
itu tergantung kondisi seseorang dan suatu daerah. Misalnya, sebagaimana poin
kedua dalam Ketentuan Hukum Fatwa tersebut, disebutkan, “Orang yang telah
terpapar virus corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi
penularan kepada orang lain. Baginya shalat Jumat dapat diganti dengan shalat
zuhur di tempat kediaman, karena shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang
melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara
massal. Baginya haram melakukan aktifitas ibadah sunnah yang membuka peluang
terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih
dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan
tabligh akbar.”
Sementara, dalam poin ketiga, disebutkan bahwa orang yang
sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar COVID-19, harus
memperhatikan sejumlah hal terkait. Hal pertama, dalam hal seseorang itu berada
di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi
berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang, maka ia boleh meninggalkan shalat
Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat kediaman, serta
meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Ied di masjid atau
tempat umum lainnya. Sedangkan, dalam hal seseorang itu berada di suatu kawasan
yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang,
maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa. Seseorang
itu juga wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona, seperti tidak
kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah
sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.
Pada poin keempat Ketentuan Hukum Fatwa itu, disebutkan bahwa
dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang
mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan
tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya
dengan shalat zuhur di tempat masing-masing. Demikian juga tidak boleh
menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini
dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah shalat lima
waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta
menghadiri pengajian umum dan majelis taklim. Sedangkan pada poin kelima, Fatwa
MUI menyebutkan, “Dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam
wajib menyelenggarakan shalat Jumat.” Pemerintah, menjadikan fatwa ini sebagai
pedoman dalam upaya penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan
dan umat Islam wajib mentaatinya.
Kedua, Saling menguatkan dan tolong menolong. Tidak
ada seorang pun yang ingin tertimpa musibah, terjangkit virus corona. Tetapi
tidak ada seorang pun yang bisa memastikan bahwa dirinya akan terbebas dari
virus corona. Untuk itulah setiap orang, terlebih seorang muslim, harus mau
untuk saling menguatkan dan saling tolong menolong satu sama lain, bahu
membahu bagaimana menciptakan kebaikan berupa melakukan pencegahan agar virus
corona tidak mewabah ke banyak daerah atau tempat, dan tentu berharap tidak
semakin banyak memakan korban meninggal dunia. Saling bertukar informasi yang valid
dan benar. Bahkan bila suatu saat akan dilakukan lockdown, maka setiap anggota
masyarakat bisa saling memberi dan menjaga ketersediaan bahan pokok. Bukan
sebaliknya malah memanfaatkan kondisi bencana untuk meraup keuntungan pribadi.
Al-Qur’an tegas mengajarkan kepada kita: “… dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2)
Mudah-mudahan kita tetap dalam iman kepada
Allah, jangan panik dan terus berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kita
berdoa semoga dengan adanya wabah corona, menjadikan pihak-pihak yang menutup
mata atas kebenaran Islam segera terbuka mata hatinya dan mendapat hidayah
keislaman. Korban-korban wabah ini –jika ada yang muslim- yang ditakdirkan
meninggal semoga husnul khotimah. Masyarakat umum khususnya muslimin dan
muslimat semoga terselamatkan dari hinggapan wabah ini. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar