Pemburu NIP Berguguran
dan Sogok Menyogok Bermunculan
Proses perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2019 kini telah memasuki tes Seleksi Kompetensi Dasar
(SKD) sejak Senin, 27 Januari 2020. Tahap tes ini akan berlangsung hingga awal
Maret 2020, untuk kemudian dilanjutkan kepada Seleksi Kompetensi Bidang (SKB)
mulai 25 Maret 2020. Setelah perekrutan tersebut, pemerintah rencananya akan
kembali membuka proses penerimaan CPNS di tahun 2020 ini. Kepala Badan
Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana membuka peluang, kemungkinan
pendaftaran CPNS tahun ini kembali diadakan mulai September mendatang.
Namun, belum dapat merinci berapa jumlah formasinya.
Adapun pada proses pengadaan CPNS 2019 terdapat sebanyak
154.029 formasi, yang terdiri atas instansi pusat sebanyak 37.584 formasi dan
instansi daerah sebanyak 116.445 formasi. Seluruh proses perekrutan akan
berakhir dalam tahap usul penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP) yang direncanakan
berlangsung hingga pertengahan Juni 2020. Sebelum itu digelar, BKN akan menyampaikan
pengumuman hasil Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) pada 1 Mei 2020.
Di Kota Mataram yang merupakan pusat ibukota, pelaksanaan SKD
lancar dan tertib. Untuk diketahui, dari sejak hari pertama sampai dengan hari
ketiga yang lulus SKD hanya 6 orang dan ratusan peserta berguguran. Belum lagi
yang terpaksa tidak lulus karena tidak datang mengikuti SKD, yakni 106 orang
dengan rincian 81 orang di hari pertama dan 25 orang di hari kedua. Pelaksanaan
SKD yang baru beberapa hari saja sudah mementalkan banyak pemburunya dan entah
berapa banyak lagi pemburu yang akan berguguran hingga akhir pelaksanaan SKD.
Namun, sangat disayangkan dengan apa yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab dengan cara mengambil jalan pintas melalui aksi sogok-menyogok.
Menyogok
untuk masuk kerja tentu tidak diperbolehkan dalam Islam dan hukumnya
adalah haram. Kita kadang-kadang menemukan ada oknum (segelintir orang) yang
berusaha untuk menyogok agar bisa diterima menjadi PNS. Mereka berpikir bahwa
tidak apa-apa menyogok dengan jumlah uang yang besar untuk masuk menjadi
seorang PNS. Yang ada dibenak mereka adalah ketika jadi PNS, maka hidup mereka
akan terjamin oleh negara sampai mati, bahkan ada pesangon untuk anak dan istri
sepeninggalnya. Memberikan sogok (suap) dan menerima sogokan (suap) adalah dosa
besar dan mendapat laknat. Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam melaknat orang yang memberi suap dan yang
menerima suap”. [HR. Abu Daud, shahih]
Kerusakan di muka bumi ini terjadi karena merajalelanya sogok
dan suap. Allah Ta’ala menegaskan mengenai sifat orang Yahudi: “Mereka itu
adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.”
[QS. Al-Maidah : 42]. Maksud memakan yang haram yaitu suap dan sogok. Ibnu
Katsir menjelaskan dalam tafsirnya: “Yaitu harta yang haram berupa sogok/suap
sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud dan yang lainnya. Apabila ada orang yang
bersifat dengan sifat ini, bagaimana Allah akan membersihkan hatinya? Bagaimana
bisa doanya dikabulkan?” [Tafsir Ibnu Kastir]. Demikian juga Allah berfirman
agar manusia jangan saling memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang
haram. Termasuk dalam hal ini adalah harta dari suap/sogok. Allah mengingatkan:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah: 188).
Ada sebuah kaidah umum tentang bekerja ialah bahwa “Islam
tidak memperbolehkan putri-putrinya mencari kekayaan dengan sekehendak hatinya
dan dengan cara semaunya. Akan tetapi Islam membedakan buat mereka jalan-jalan
yang dibenarkan syariat dan yang tidak dibenarkan syariat didalam mencari
penghidupan dengan memperhatikan kemaslahatan umum.”
Kaidah
di atas memberikan batasan kepada setiap muslim untuk memberikan penilaian
terhadap suatu pekerjaan yang dia jalani, apakah ia termasuk yang dibolehkan
atau sebaliknya. Suatu pekerjaan termasuk yang diridhai Allah swt apabila
memenuhi dua persyaratan, yaitu: Pertama: Tidak melanggar syariat.
Allah swt menegaskan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa
berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan
memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
(QS. An Nisaa: 29 – 30). Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Wasilah
bin al Aqsa dia berkata,”Rasulullah saw pernah keluar menemui kami para
pedagang, lalu bersabda, ’Wahai para pedagang, jauhkanlah dirimu dari berbuat
dusta.” (HR. Ath-Thabrani).
Allah swt melarang hamba-hamba-Nya di dalam mencari
penghasilan dengan menggunakan cara-cara yang batil atau tidak dibenarkan oleh
syariat, seperti jenis pekerjaannya bukan termasuk yang diharamkan, tidak
mengandung unsur penipuan, penzhaliman, riba, atau merugikan orang lain yang
berinteraksi dengannya di dalam pekerjaan itu. Hal di atas menjadi penting bagi
setiap muslim di dalam mencari dan melakukan pekerjaannya dikarenakan dirinya
lebih mendahulukan ridha dan cinta Allah daripada ridha dan cinta manusia. Ridha
dan cinta Allah terhadap dirinya itu bukanlah terletak pada besar kecilnya
penghasilan yang didapat dari pekerjaannya akan tetapi pada sarana dan cara
seseorang menjalani pekerjaannya. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bagi
seorang muslim di dalam menjalani pekerjaannya menghalalkan segala cara dan
menabrak rambu-rambu halal haram yang telah digariskan oleh syariat hanya
karena ingin mendapatkan penghasilan yang besar dari pekerjaannya.
Kedua: Mengandung kemaslahatan dan tidak menimbulkan
kemudharatan.
Hal lainnya adalah bahwa pekerjaan itu dapat memberikan kemaslahatan dan
tidak menimbulkan kemudharatan baik bagi dirinya maupun orang lain. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim bekerja di lembaga-lembaga yang merusak moral masyarakat, memerangi kaum muslimin, atau membantu melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Amr bin Yahya al Mazini dari ayahnya bahwasanya Rasulullah saw bersabda, ”Janganlah saling memudharatkan.” Semua itu dengan catatan tidak ada unsur keterpakasaan yang mendesak seseorang untuk mencari kebutuhanan pokoknya atau menjalani pekerjaan yang menimbulkan kemudharatan bagi diri maupun orang lain. Dan jika ia terpaksa bekerja di tempat seperti itu maka kerjanya diukur dengan kadar keterpaksaannya dengan disertai rasa benci terhadap pekerjaan itu sambil terus-menerus berusaha mencari pekejaan lain sehingga Allah memberikan kemudahan baginya untuk bekerja secara halal dan jauh dari dosa-dosa, sebagaimana Allah swt menegaskan: “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173).
Dengan demikian setiap pekerjaan yang memenuhi
kedua persyaratan di atas maka dibolehkan bagi seorang muslim untuk terlibat di
dalamnya dan mencari penghasilan darinya, termasuk menjadi pegawai negeri atau
pegawai pemerintah. Pada dasarnya tugas pemerintah di dalam Islam adalah
memberikan pelayanan dan kemaslahatan sebaik-baiknya kepada seluruh rakyatnya
melalui seluruh perangkat yang dimilikinya. Adapun apabila yang terjadi di lapangan
justru sebaliknya, terjadi pelanggaran terhadap rambu-rambu yang telah
ditetapkan syari’at atau merugikan rakyatnya maka hal ini dikembalikan kepada
si pelaku kemaksiatan itu bukan kepada jenis pekerjaannya, yaitu memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Wallahu A’lam.
tidak menimbulkan kemudharatan baik bagi dirinya maupun orang lain. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim bekerja di lembaga-lembaga yang merusak moral masyarakat, memerangi kaum muslimin, atau membantu melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Amr bin Yahya al Mazini dari ayahnya bahwasanya Rasulullah saw bersabda, ”Janganlah saling memudharatkan.” Semua itu dengan catatan tidak ada unsur keterpakasaan yang mendesak seseorang untuk mencari kebutuhanan pokoknya atau menjalani pekerjaan yang menimbulkan kemudharatan bagi diri maupun orang lain. Dan jika ia terpaksa bekerja di tempat seperti itu maka kerjanya diukur dengan kadar keterpaksaannya dengan disertai rasa benci terhadap pekerjaan itu sambil terus-menerus berusaha mencari pekejaan lain sehingga Allah memberikan kemudahan baginya untuk bekerja secara halal dan jauh dari dosa-dosa, sebagaimana Allah swt menegaskan: “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173).
0 komentar:
Posting Komentar