SRA Membangun Paradigma Baru Untuk Generasi Baru
SRA
merupakan kepanjangan dari Sekolah Ramah Anak. Sekolah sebagai agen pelaksana
proses pendidikan harus memiliki budaya ramah dalam menjalankan fungsinya untuk
mencapai tujuan pendidikan. Berbagai berita kekerasan di sekolah sering terjadi
pada peserta didik akhir-akhir ini, dari tingkat sekolah dasar sampai dengan
sekolah menengah. Kekerasan dilakukan oleh peserta didik kepada peserta didik, peserta
didik kepada guru, guru kepada peserta didik dan orang tua kepada guru. Berita
yang terbaru menyebutkan bahwa SM
(14), peserta didik SMP HKBP Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara,
meninggal dunia usai berkelahi dengan teman sekolahnya SO (5/2/2020) sekitar
pukul 13.00 WIB yang merupakan rekannya sendiri. Perkelahian itu diduga berawal
dari saling ejek.
Berangkat
dari berbagai permasalahan kekerasan dan konflik yang diterima peserta didik di
sekolah, maka perlu dikembangkan program sekolah ramah anak. Program ini
bertujuan untuk memberikan perlindungan pada diri peserta didik sebagai anak di
sekolah dengan mengutamakan hak-hak anak yang meliputi hak hidup, hak tumbuh
berkembang, hak perlindungan, dan hak mendapatkan pendidikan. Peserta didik
sebagai anak harus terlindungi menjadi manusia yang membutuhkan pendidikan
secara manusiawi. Sekolah ramah anak menjadi penting, mengingat dalam sehari
delapan jam anak berada di sekolah. Keprihatinan orang tua, keluarga,
masyarakat dan pemerintah karena kondisi anak-anak di sekolah yang rawan
kekerasan, keracunan, kecelakaan, kotor, kondisi gedung yang mudah rubuh jika
ada bencana, Napza, rokok, radikalisme, lingkungan tidak sehat, dan lain
sebagainya. Adanya program dari kementerian/lembaga yang saat ini sudah
berbasis sekolah dan menunjang terhadap kondisi yang diinginkan dalam sekolah
ramah anak. Sekolah ramah anak juga merupakan salah satu indikator penting
dalam Kabupaten layak anak.
Sekolah
ramah anak adalah satuan pendidikan formal,
nonformal, dan informal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya
lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan
perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya
serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan,
pembelajaran, pengawasan, dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan
perlindungan anak di pendidikan. Sekolah ramah anak bukan membuat bangunan baru
melainkan membangun paradigma baru dalam mendidik dan mengajar peserta didik
untuk menciptakan generasi baru yang tangguh tanpa kekerasan, menumbuhkan
kepekaan orang dewasa pada satuan pendidikan untuk memenuhi hak dan melindungi
peserta didik. Komponen sekolah ramah anak, meliputi hal-hal
berikut: Pertama, Kebijakan SRA. Adanya deklarasi, adanya komitmen
tertulis, SK Tim SRA, program yang mendukung SRA, melaporkan
kepada dinas terkait (Dinas PPPA/Disdik/Kemenag dan KPPPA), kebijakan tertulis
yang mendukung pemenuhan hak anak lainnya, melakukan perjanjian kerjasama
dengan lembaga layanan terdekat seperti puskesmas, kepolisian, pemadam
kebakaran, lembaga masyarakat, dunia usaha, media massa, dan lain-lain. Kedua, Pendidik dan tenaga kependidikan terlatih hak-hak anak. Adanya
pelatihan, adanya guru dan tenaga kependidikan yang mempunyai sertifikat
pelatihan, pelatihan dilaksanakan oleh
dinas terkait seperti Dinas PPPA/Disdik/Kanwil Kemenag/Sekolah itu sendiri.
Ketiga, Pelaksanaan proses belajar yang ramah anak menerapkan disiplin
tanpa kekerasan. Proses belajar
yang ramah anak meliputi: Penerapan disiplin dan ketegasan tanpa merendahkan
anak dan kekerasan; adanya komunikasi dua arah, menggunakan bahasa positif
dalam berkomunikasi; memberikan motivasi belajar; membangun keakraban dengan
anak; melihat masing-masing anak sebagai karakter yang unik. Guru mengingatkan
hal-hal terkait pembentukan karakter positif anak, misalnya empati, non
diskriminasi, anti radikalisme, cinta negara, bahasa, budaya dan perbedaan
budaya menghargai HAM, sosial, cinta kebersihan, anti bullying; adanya proses
pembelajaran di luar kelas, misalnya di teras, di halaman sekolah, di sawah
dekat sekolah, di museum; melibatkan orang tua dan pihak lain sebagai
guru/memberi informasi; guru BK menjadi tempat curhat anak; Kepala sekolah dan
wakil jenjang kelas menerima dan menyapa anak-anak yang datang ke sekolah
setiap paginya; mengumandangkan Indonesia Raya dan lagu kebangsaan
lainnya; mengubah sistem point yang tadinya untuk mengukur kesalahan anak
menjadi mengukur kebaikan anak; Perlombaan kelas menyenangkan yang melibatkan
secara penuh anak; mengumumkan anak yang mendapat point terbanyak setiap pekan
yang dikumpulkan dari informasi yang diperoleh setiap harinya dari seluruh anak
oleh wali kelas; membuat kelas menjadi seru.
Keempat, Sarana dan prasarana yang ramah anak tidak
membahayakan anak, dan mencegah anak agar tidak celaka. Sarana yang memadai
memastikan anak anak tidak mendapatkan celaka di sekolah yang disebabkan sarana
prasarana yang ada dengan cara: adanya papan nama, minimal spanduk Sekolah
Ramah Anak; memastikan ruangan cukup cahaya dan sirkulasi udara serta
penerangan yang cukup; mengumpulkan ujung meja; memberi rambu rambu tempat yang
membahayakan (dinding retak/tangga curam dll); menghindarkan tanaman yang
berduri atau beracun dari jalur anak berjalan; WC dalam kondisi bersih, ada air
mengalir, mempunyai penerangan yang cukup, bak WC dibersihkan seminggu sekali
dan diberi ABATE dan anak-anak diajarkan untuk menyiram; pintu dibuka
keluar, jika pintu di buka ke dalam maka pada waktu proses belajar pintu harus
terbuka/agak terbuka; UKS harus dipastikan berfungsi dengan baik; disediakan
tempat cuci tangan sesuai kemampuan sekolah; disediakan rambu-rambu untuk
pengurangan resiko bencana; adanya spanduk-spanduk untuk mengingatkan
kebersihan, kawasan tanpa asap roko, kawasan tanpa napza dan lain-lain; penataan
lingkungan dengan melibatkan warga sekolah dan orang tua; memastikan makanan di
kantin tidak mengandung zat berbahaya (kantin sehat/pangan jajan sehat);
penataan kelas yang menyenangkan dengan melibatkan anak.
Kelima, Partisipasi anak. Partisipasi anak meliputi:
mengkomunikasikan program sekolah dengan melibatkan anak; anak dilibatkan sejak
mengisi check list potensi, perencanaan sampai pelaksanaan dan monitoring; anak
sebagai pengawal SRA.Keenam, Partisipasi orang tua, lembaga
masyarakat, dunia usaha, Stakeholder lainnya, dan Alumni. Partisipasi orang tua
meliputi: mensosialisasikan SRA kepada sekolah dan mengajak orang tua mendukung
SRA; membuat grup komunikasi setiap kelas dengan orang tua peserta didik;
melibatkan orang tua dalam penataan lingkungan, melibatkan orang tua dalam
pembenahan sarana, misalnya mengumpulkan ujung meja, menghias sekolah dan
lain-lain; berjejaring dengan lembaga masyarakat, dunia usaha; melibatkan
alumni dalam proses SRA; orang tua sebagai narasumber di sekolah; melibatkan
orang tua dalam menyiapkan sarapan sehat.
Sekolah yang baik, ialah sekolah yang tidak bertentangan
dengan QS. Al Furqon ayat 74, yaitu sekolah yang tidak memudarkan
kedudukan anak sebagai Qurrota A’yun (penyejuk mata). Meskipun bermain
merupakan hak anak, namun tidak lantas menafikan tujuan dan unsur penting dalam
pendidikan itu sendiri. Jika sejenak kembali membuka Al Qur’an, tepatnya QS. Al
Baqarah ayat 132-133, Allah SWT menggambarkan kekhawatiran Nabi-Nabi sebelumnya
mengenai kondisi keagamaan anak-anaknya kelak, hingga ketika maut tepat berada
di kerongkongan Nabi Yakub pun, ia masih menyempatkan diri untuk memastikan
siapa yang kelak disembah oleh anaknya. Barangkali inilah inti dari tujuan
pendidikan dalam Islam, yakni memastikan fitrah anak tetap terjaga tanpa harus
menghilangkan hak bermain. Semangat pendidikan anak yang terkadung dalam QS. Al
Baqarah ayat 132-133 di atas, telah diamini oleh Negara yang dituangkan dalam
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2013, tepatnya pada pasal satu. Dalam pasal tersebut
dijelaskan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk mengembangkan
potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual.
Namun yang jadi pertanyaan, bisakah tujuan tersebut tercapai,
jika anak datang ke sekolah memikul dogma sosial, bahwa tugas anak hanyalah
melulu belajar, agar kelak mendapatkan selembar ijazah. Akibat hal tersebut,
kini sekolah tidak lagi ramah dengan anak, kalaupun anak datang ke
sekolah tidak lain hanya karena merasa terseret oleh jerat obsesi duniawi
orang tua. Dengan dalih masa depan cerah, anak ditempa layaknya besi, dituntut
mengikuti bentuk yang diinginkan, hingga akhirnya pendidikan terkesan jauh dari
nilai kemanusiaan.
Sekolah yang ramah anak, ialah sekolah yang menghadirkan
sudut senyum bagi setiap anak, mereka yang datang ke sekolah atas dasar hati
yang senang. Baik kaya maupun miskin, cepat atau lambat kemampuan ia menghafal,
namun gerbang dan pintu sekolah tetap terbuka lebar menyambut amanat-amanat
Allah SWT tersebut. Hal demikian hanya bisa terwujud, jika berangkat dari
persepsi yang sama, bahwa semua anak adalah bintang, mereka kelak akan tumbuh
tidak hanya sebagai dokter saja, melainkan akan menjalani peran hidup yang
berbeda-beda. Seperti para sahabat Nabi, ada Khabab bin Arast yang ahli dalam
bidang teknis, adapula yang tumbuh seperti Abdurrahman bin Auf yang ahli dalam
wirausaha, dan bukan hal yang tidak mungkin ada yang tumbuh layaknya Abu Hurairah
yang kita kenal sebagai ahli dalam bidang Hadist. Meskipun para sahabat
tersebut memiliki latar keahlian yang berbeda, namun mereka memiliki tempat
yang sama untuk kembali, yakni surga.
Sekolah ramah anak, bukan berarti sekolah yang menumbuh
kembangkan budaya permisif (bebas), bukan pula sekolah yang membenarkan
sepenuhnya konsep pendidikan kontemporer yang melarang penggunaan kata “jangan”
dengan dalih menghambat kreatifitas anak. Islam tidak mengenal kebebasan
absolut, dan Islam pun sangat erat dengan syariat bernada larangan. Karena,
jika anak tidak diperkenalkan dengan kata “jangan”, maka ia akan tumbuh menjadi
pribadi yang bisa untuk memastikan mana yang halal dan mana yang haram. Sekolah
ramah anak berada diantara keduanya, anak-anak diberi kebebasan untuk mencari
kemudahan dalam usaha memahami pelajaran, namun tetap mempertimbangkan dimensi
etis dan kedisiplinan.
Untuk menghadirkan pendidikan yang ramah anak dan manusiawi,
semua elemen penting mulai dari pendidik hingga orang tua dituntut memiliki
kesadaran, bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kecenderungan positif bernama
fitrah. Inilah yang dimaksud oleh Allah SWT dalam QS. Asy Syam ayat 8
yang menyebutkan bahwa setiap anak manusia diberikan ilham taqwa.
SRA
bebas dari SARA
Isu SARA selalu
menjadi hal yang sensitif di Indonesia. Banyak kasus yang kemudian diseret ke
isu SARA. SARA merupakan isu yang berpotensi memecah belah masyarakat yang
bersifat majemuk seperti di Indonesia. SARA adalah akronim dari Suku Ras Agama
dan Antar golongan. SARA adalah pandangan ataupun tindakan yang didasari dengan
pikiran sentimen mengenai identitas diri yang menyangkut keturunan, agama,
kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Yang digolongkan sebagai sebuah tindakan
SARA adalah segala macam bentuk tindakan baik itu verbal maupun nonverbal yang
didasarkan pada pandangan sentimen tentang identitas diri atau golongan.
SARA dapat digolongkan menjadi tiga kategori,
yakni: Pertama, Individual. Di mana tindakan SARA dilakukan oleh
individu atau golongan dengan tindakan yang bersifat menyerang, melecehkan,
mendiskriminasi, atau menghina golongan lainnya. Kedua, Institusional.
Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh institusi atau pemerintah
melalui aturan atau kebijakan yang bersifat diskriminatif bagi suatu golongan. Ketiga,
Kultural. SARA yang dikatagorikan di sini adalah tindakan penyebaran tradisi
atau ide-ide yang bersifat diskriminatif antar golongan. Dampak dari tindakan
SARA adalah konflik antar golongan yang dapat menimbulkan kebencian dan berujung
pada perpecahan. Contohnya pada kasus konflik Tragedi Sampit yang terjadi pada
2001 silam. Konflik ini terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura di mana SARA
adalah biang dari masalahnya. Warga Madura dinilai gagal dalam beradaptasi
dengan Warga Dayak kemudian muncullah diskriminasi antar golongan hingga pecah
konflik dan akhirnya memakan korban hingga 500 orang. Contoh lain dari kasus
SARA adalah Kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan ini merupakan kerusuhan rasial
terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998,
khususnya di Ibu Kota Jakarta dan juga terjadi di beberapa daerah lain di
Indonesia. Banyak sasaran perusakan adalah milik etnis Tionghoa. Lebih jauh,
juga ditemukan sejumlah kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan Tionghoa.
Kasus SARA yang cukup menggemparkan publik pada kurun waktu beberapa tahun ini
adalah dikuaknya kasus sindikat penebar ujaran kebencian bernama Saracen.
Polisi membongkar sindikat penebar ujaran kebencian bernama Saracen ini pada
pertengahan 2017 lalu. Dipimpin oleh Jasriadi, jaringan ini ternyata telah
memproduksi dan menyebarkan konten kebencian bernada SARA sejak November 2015.
0 komentar:
Posting Komentar