Sabtu, 25 April 2020

SRA Membangun Paradigma Baru Untuk Generasi Baru


SRA Membangun Paradigma Baru Untuk Generasi Baru

SRA merupakan kepanjangan dari Sekolah Ramah Anak. Sekolah sebagai agen pelaksana proses pendidikan harus memiliki budaya ramah dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan pendidikan. Berbagai berita kekerasan di sekolah sering terjadi pada peserta didik akhir-akhir ini, dari tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah. Kekerasan dilakukan oleh peserta didik kepada peserta didik, peserta didik kepada guru, guru kepada peserta didik dan orang tua kepada guru. Berita yang terbaru menyebutkan bahwa SM (14), peserta didik SMP HKBP Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, meninggal dunia usai berkelahi dengan teman sekolahnya SO (5/2/2020) sekitar pukul 13.00 WIB yang merupakan rekannya sendiri. Perkelahian itu diduga berawal dari saling ejek.
Berangkat dari berbagai permasalahan kekerasan dan konflik yang diterima peserta didik di sekolah, maka perlu dikembangkan program sekolah ramah anak. Program ini bertujuan untuk memberikan perlindungan pada diri peserta didik sebagai anak di sekolah dengan mengutamakan hak-hak anak yang meliputi hak hidup, hak tumbuh berkembang, hak perlindungan, dan hak mendapatkan pendidikan. Peserta didik sebagai anak harus terlindungi menjadi manusia yang membutuhkan pendidikan secara manusiawi. Sekolah ramah anak menjadi penting, mengingat dalam sehari delapan jam anak berada  di sekolah. Keprihatinan orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah karena kondisi anak-anak di sekolah yang  rawan kekerasan, keracunan, kecelakaan, kotor, kondisi gedung yang mudah rubuh jika ada bencana, Napza, rokok, radikalisme, lingkungan tidak sehat, dan lain sebagainya. Adanya program dari kementerian/lembaga yang saat ini sudah berbasis sekolah dan menunjang terhadap kondisi yang diinginkan dalam sekolah ramah anak. Sekolah ramah anak juga merupakan salah satu indikator penting dalam Kabupaten layak anak.
Sekolah ramah anak adalah satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup, mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawasan, dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak di pendidikan. Sekolah ramah anak bukan membuat bangunan baru melainkan membangun paradigma baru dalam mendidik dan mengajar peserta didik untuk menciptakan generasi baru yang tangguh tanpa kekerasan, menumbuhkan kepekaan orang dewasa pada satuan pendidikan untuk memenuhi hak dan melindungi peserta didik. Komponen sekolah ramah anak, meliputi hal-hal berikut: Pertama, Kebijakan SRA. Adanya deklarasi, adanya komitmen tertulis, SK  Tim SRA, program  yang mendukung SRA, melaporkan kepada dinas terkait (Dinas PPPA/Disdik/Kemenag dan KPPPA), kebijakan tertulis yang mendukung pemenuhan hak anak lainnya, melakukan perjanjian kerjasama dengan lembaga layanan terdekat seperti puskesmas, kepolisian, pemadam kebakaran, lembaga masyarakat, dunia usaha, media massa, dan lain-lain. Kedua, Pendidik dan tenaga kependidikan terlatih hak-hak anak. Adanya pelatihan, adanya guru dan tenaga kependidikan yang mempunyai sertifikat pelatihan, pelatihan dilaksanakan oleh dinas terkait seperti Dinas PPPA/Disdik/Kanwil Kemenag/Sekolah itu sendiri.
Ketiga, Pelaksanaan proses belajar yang ramah anak menerapkan disiplin tanpa kekerasan. Proses belajar yang ramah anak meliputi: Penerapan disiplin dan ketegasan tanpa merendahkan anak dan kekerasan; adanya komunikasi dua arah, menggunakan bahasa positif dalam berkomunikasi; memberikan motivasi belajar; membangun keakraban dengan anak; melihat masing-masing anak sebagai karakter yang unik. Guru mengingatkan hal-hal terkait pembentukan karakter positif anak, misalnya empati, non diskriminasi, anti radikalisme, cinta negara, bahasa, budaya dan perbedaan budaya menghargai HAM, sosial, cinta kebersihan, anti bullying; adanya proses pembelajaran di luar kelas, misalnya di teras, di halaman sekolah, di sawah dekat sekolah, di museum; melibatkan orang tua dan pihak lain sebagai guru/memberi informasi; guru BK menjadi tempat curhat anak; Kepala sekolah dan wakil jenjang kelas menerima dan menyapa  anak-anak yang datang ke sekolah setiap paginya; mengumandangkan Indonesia  Raya dan lagu kebangsaan lainnya; mengubah sistem point yang tadinya untuk mengukur kesalahan anak menjadi mengukur kebaikan anak; Perlombaan kelas menyenangkan yang melibatkan secara penuh anak; mengumumkan anak yang mendapat point terbanyak setiap pekan yang dikumpulkan dari informasi yang diperoleh setiap harinya dari seluruh anak oleh wali kelas; membuat kelas menjadi seru.
Keempat, Sarana dan prasarana yang ramah anak tidak membahayakan anak, dan mencegah anak agar tidak celaka. Sarana yang memadai memastikan anak anak tidak mendapatkan celaka di sekolah yang disebabkan sarana prasarana yang ada dengan cara: adanya papan nama, minimal spanduk Sekolah Ramah Anak; memastikan ruangan cukup cahaya dan sirkulasi udara serta penerangan yang cukup; mengumpulkan ujung meja; memberi rambu rambu tempat yang membahayakan (dinding retak/tangga curam dll); menghindarkan tanaman yang berduri atau beracun dari jalur anak berjalan; WC dalam kondisi bersih, ada air mengalir, mempunyai penerangan yang cukup, bak WC dibersihkan seminggu sekali dan diberi ABATE  dan anak-anak diajarkan untuk menyiram; pintu dibuka keluar, jika pintu di buka ke dalam maka pada waktu proses belajar pintu harus terbuka/agak terbuka; UKS harus dipastikan berfungsi dengan baik; disediakan tempat cuci tangan sesuai kemampuan sekolah; disediakan rambu-rambu untuk pengurangan resiko bencana; adanya spanduk-spanduk untuk mengingatkan kebersihan, kawasan tanpa asap roko, kawasan tanpa napza dan lain-lain; penataan lingkungan dengan melibatkan warga sekolah dan orang tua; memastikan makanan di kantin tidak mengandung zat berbahaya (kantin sehat/pangan jajan sehat); penataan kelas yang menyenangkan dengan melibatkan anak.
Kelima, Partisipasi anak. Partisipasi anak meliputi: mengkomunikasikan program sekolah dengan melibatkan anak; anak dilibatkan sejak mengisi check list potensi, perencanaan sampai pelaksanaan dan monitoring; anak sebagai pengawal SRA.Keenam, Partisipasi orang tua, lembaga masyarakat, dunia usaha, Stakeholder lainnya, dan Alumni. Partisipasi orang tua meliputi: mensosialisasikan SRA kepada sekolah dan mengajak orang tua mendukung SRA; membuat grup komunikasi setiap kelas dengan orang tua peserta didik; melibatkan orang tua dalam penataan lingkungan, melibatkan orang tua dalam pembenahan sarana, misalnya mengumpulkan ujung meja, menghias sekolah dan lain-lain; berjejaring dengan lembaga masyarakat, dunia usaha; melibatkan alumni dalam proses SRA; orang tua sebagai narasumber di sekolah; melibatkan orang tua dalam menyiapkan sarapan sehat.
Sekolah yang baik, ialah sekolah yang tidak bertentangan dengan  QS. Al Furqon ayat 74, yaitu sekolah yang tidak memudarkan kedudukan anak sebagai Qurrota A’yun (penyejuk mata). Meskipun bermain merupakan hak anak, namun tidak lantas menafikan tujuan dan unsur penting dalam pendidikan itu sendiri. Jika sejenak kembali membuka Al Qur’an, tepatnya QS. Al Baqarah ayat 132-133, Allah SWT menggambarkan kekhawatiran Nabi-Nabi sebelumnya mengenai kondisi keagamaan anak-anaknya kelak, hingga ketika maut tepat berada di kerongkongan Nabi Yakub pun, ia masih menyempatkan diri untuk memastikan siapa yang kelak disembah oleh anaknya. Barangkali inilah inti dari tujuan pendidikan dalam Islam, yakni memastikan fitrah anak tetap terjaga tanpa harus menghilangkan hak bermain. Semangat pendidikan anak yang terkadung dalam QS. Al Baqarah ayat 132-133 di atas, telah diamini oleh Negara yang dituangkan dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2013, tepatnya pada pasal satu. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual.
Namun yang jadi pertanyaan, bisakah tujuan tersebut tercapai, jika anak datang ke sekolah memikul dogma sosial, bahwa tugas anak hanyalah melulu belajar, agar kelak mendapatkan selembar ijazah. Akibat hal tersebut, kini sekolah tidak lagi ramah dengan anak, kalaupun anak datang ke sekolah  tidak lain hanya karena merasa terseret oleh jerat obsesi duniawi orang tua. Dengan dalih masa depan cerah, anak ditempa layaknya besi, dituntut mengikuti bentuk yang diinginkan, hingga akhirnya pendidikan terkesan jauh dari nilai kemanusiaan.
Sekolah yang ramah anak, ialah sekolah yang menghadirkan sudut senyum bagi setiap anak, mereka yang datang ke sekolah atas dasar hati yang senang. Baik kaya maupun miskin, cepat atau lambat kemampuan ia menghafal, namun gerbang dan pintu sekolah tetap terbuka lebar menyambut amanat-amanat Allah SWT tersebut. Hal demikian hanya bisa terwujud, jika berangkat dari persepsi yang sama, bahwa semua anak adalah bintang, mereka kelak akan tumbuh tidak hanya sebagai dokter saja, melainkan akan menjalani peran hidup yang berbeda-beda. Seperti para sahabat Nabi, ada Khabab bin Arast yang ahli dalam bidang teknis, adapula yang tumbuh seperti Abdurrahman bin Auf yang ahli dalam wirausaha, dan bukan hal yang tidak mungkin ada yang tumbuh layaknya Abu Hurairah yang kita kenal sebagai ahli dalam bidang Hadist. Meskipun para sahabat tersebut memiliki latar keahlian yang berbeda, namun mereka memiliki tempat yang sama untuk kembali, yakni surga.
Sekolah ramah anak, bukan berarti sekolah yang menumbuh kembangkan budaya permisif (bebas), bukan pula sekolah yang membenarkan sepenuhnya konsep pendidikan kontemporer yang melarang penggunaan kata “jangan” dengan dalih menghambat kreatifitas anak. Islam tidak mengenal kebebasan absolut, dan Islam pun sangat erat dengan syariat bernada larangan. Karena, jika anak tidak diperkenalkan dengan kata “jangan”, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang bisa untuk memastikan mana yang halal dan mana yang haram. Sekolah ramah anak berada diantara keduanya, anak-anak diberi kebebasan untuk mencari kemudahan dalam usaha memahami pelajaran, namun tetap mempertimbangkan dimensi etis dan kedisiplinan.
Untuk menghadirkan pendidikan yang ramah anak dan manusiawi, semua elemen penting mulai dari pendidik hingga orang tua dituntut memiliki kesadaran, bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kecenderungan positif bernama fitrah. Inilah yang dimaksud oleh Allah SWT dalam QS. Asy Syam ayat 8  yang menyebutkan bahwa setiap anak manusia diberikan ilham taqwa.
SRA bebas dari SARA
Isu SARA selalu menjadi hal yang sensitif di Indonesia. Banyak kasus yang kemudian diseret ke isu SARA. SARA merupakan isu yang berpotensi memecah belah masyarakat yang bersifat majemuk seperti di Indonesia. SARA adalah akronim dari Suku Ras Agama dan Antar golongan. SARA adalah pandangan ataupun tindakan yang didasari dengan pikiran sentimen mengenai identitas diri yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Yang digolongkan sebagai sebuah tindakan SARA adalah segala macam bentuk tindakan baik itu verbal maupun nonverbal yang didasarkan pada pandangan sentimen tentang identitas diri atau golongan.
SARA dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni: Pertama, Individual. Di mana tindakan SARA dilakukan oleh individu atau golongan dengan tindakan yang bersifat menyerang, melecehkan, mendiskriminasi, atau menghina golongan lainnya. Kedua, Institusional. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh institusi atau pemerintah melalui aturan atau kebijakan yang bersifat diskriminatif bagi suatu golongan. Ketiga, Kultural. SARA yang dikatagorikan di sini adalah tindakan penyebaran tradisi atau ide-ide yang bersifat diskriminatif antar golongan. Dampak dari tindakan SARA adalah konflik antar golongan yang dapat menimbulkan kebencian dan berujung pada perpecahan. Contohnya pada kasus konflik Tragedi Sampit yang terjadi pada 2001 silam. Konflik ini terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura di mana SARA adalah biang dari masalahnya. Warga Madura dinilai gagal dalam beradaptasi dengan Warga Dayak kemudian muncullah diskriminasi antar golongan hingga pecah konflik dan akhirnya memakan korban hingga 500 orang. Contoh lain dari kasus SARA adalah Kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan ini merupakan kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta dan juga terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Banyak sasaran perusakan adalah milik etnis Tionghoa. Lebih jauh, juga ditemukan sejumlah kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan Tionghoa. Kasus SARA yang cukup menggemparkan publik pada kurun waktu beberapa tahun ini adalah dikuaknya kasus sindikat penebar ujaran kebencian bernama Saracen. Polisi membongkar sindikat penebar ujaran kebencian bernama Saracen ini pada pertengahan 2017 lalu. Dipimpin oleh Jasriadi, jaringan ini ternyata telah memproduksi dan menyebarkan konten kebencian bernada SARA sejak November 2015.


0 komentar:

Posting Komentar

Download Buku Kumpulan Materi Ceramah dan Khutbah Ramadhan

   Sambut Ramadan 1445 H, Kementerian Agama merilis buku Syiar Ramadhan Mempererat Persaudaraan. Buku ini memuat sejumlah materi Kuliah Tuju...