Pengalaman Menulis di Penerbit Mayor
oleh: Hasanuddin
Alhamdulillah,
dipanjatkan puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan kesehatan dan
kesempatan kepada penulis khususnya sehingga bisa mengikuti perkuliahan online
selama bulan Ramadhan, selama Pandemi Covid-19, dan selama WFH (Work From
Home).
Shalawat dan
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarga,
sahabat, dan pengikutnya yang setia melaksanakan ajarannya dan mudah-mudahan
kita semua mendapatkan syafaatnya di yaumil akhir.
Adapun jadwal,
narsum, dan tema kita pada hari ini adalah sebagai berikut:
No
|
Hari/Tanggal
|
Nara Sumber
|
Tema
|
1
|
Rabu, 11 Ramadhan 1441 H/4 Mei 2020 M
|
Drs. Ukim Komaruddin, M. Pd
|
Pengalaman Menulis di Penerbit Mayor
|
Pemateri kita kali ini, yaitu Bapak
Ukim Komarudin. Beliau mengawali materinya dengan menyampaikan bahwa menulis
merupakan ekspresi pribadi saya. Oleh karena itu, saya merasa sangat penting
agar saya memiliki tempat mencurahkan segala kegelisahan atau apapun bentuknya,
lalu saya menemukan menulis adalah sarana yang tepat buat saya. Saya tak pernah
merasa khawatir terkait dengan kualitas tulisan saya. Saya juga tidak perduli
dengan ragam atau apa yang menjadi trend di masyarakat. Bapak Ukim Komarudin
mempertegas lagi bahwa “Pokoknya Menulis
dan Tiada Hari Tanpa Menulis”. Menulis adalah Kubutuhan. Saya merasa menemukan
lebih tentang “saya” dengan menulis. Demikian hal itu terus berjalan hingga
jika tidak dilakukan seperti ada sesuatu yang hilang. Demikianlah saya menulis
dengan jujur, sejujur-jujurnya. Apa adanya. Selain menulis apa adanya, saya pun
menulis apa saja. Karena saya guru, saya menulis terkait pelajaran, beragam
kegiatan berupa proposal, liputan kegiatan yang harus dituliskan di majalah,
dan menulis buku harian.
Apa
yang beliau sampaikan betul-betul sangat sederhana dan sangat memotivasi kita.
Dengan demikian, terlintas dipikiran saya akan menulis apa saja dan apa adanya,
mulai termotivasi, muncul dipikiran ide-ide, sepertinya banyak hal yang bisa
saya tulis tentang apa yang saya lihat dan saya alami. Kembali lagi apa yang disampaikan
Bapak Ukim Komarudin.
Pada
suatu hari, tulisan-tulisan itu mulai dilirik oleh orang-orang terdekat, yang
dalam hal ini adalah teman-teman guru. Satu dua dari mereka berkomentar bahwa tulisan
saya bagus. Kata mereka juga tulisan saya dapat membuat pembaca larut dalam
cerita. Ada juga yang mengatakan bahwa bahasa saya sederhana dan mudah dicerna
oleh pembaca. Ada juga yang mengaku bahwa sepenggal tulisan saya dapat
dijadikan ceramah atau kultum, dan sebagainya. Karena komentar tersebut, saya
mencoba membukukan tulisan-tulisan saya yang selama ini merekam semua kejadian
karena saya memang senang membuat buku harian.
Ada
beberapa kejadian, tetapi tema besarnya, yang saya tuliskan merupakan pelajaran
orang dewasadari anak-anak cerdas yang menjadi siswanya. Oleh karena tulisan
itu beragam kejadian, beragam waktu, dan dari beragam tokoh, maka saya
menuliskan judul buku tersebut: Menghimpun
Yang Berserak. Sebuah usaha untuk mengumpulkan segenap mutiara
yang berserakan dalam kehidupan yang sangat bermanfaat bagi saya, dan semoga bermanfaat
pula buat orang lain.
Sampai
suatu saat Bapak Ukim Komarudin mempunyai kesempatan untuk menerbitkan hasil
karyanya di salah satu penerbit yang kebetulan Bapak Ukim Komarudin menjadi
penanggung jawab penerbitan buku di sekolahnya. Pada proses penerbitan buku
Bapak Ukim Komarudin diinterview, di mana dalam kesempatan interview itu Bapak
Ukim Komarudin banyak mendapatkan pengetahuan terkait tips dan trik menerbitkan
buku. Namun, seiring berjalannya waktu akan diterbitkannya buku tersebut
terlintas sebuah pertanyaan besar, apakah buku yang berjudul: “Menghimpun Yang
Berserak” akan laku di pasaran? Kalau sudah ada, apakah buku saya punya nilai
tambah sehingga pembaca melirik dan membeli buku saya? Untuk kepentingan pasar, apakah saya bersedia
apabila beberapa hal terjadi penyesuaian? Saat inilah Bapak Ukim Komarudin
merasakan kurang nyaman dan mulai merasa terpenjara.
Pada
suatu hari Bapak Ukim Komarudin bertemu dengan seorang teman yang sudah
menjadi penulis. Dikatakanlah bahwa apa
yang dialami Bapak Ukim Komarudin adalah sebuah pengalaman yang sangat baik dan
patut disyukuri. Dalam proses menulis sampai menerbitkan buku harus melibatkan
tim agar tulisan yang kita buat sampai kepada pembaca. Tim yang dimaksud adalah
editor. Editor adalah garda depan yang menentukan naskah itu layak tidaknya diterbitkan.
Tim berikutnya adalah seorang yang membidangi bagian gambar sampul, layout,
ilustrasi foto, tata letak, dan lain sebaginya. Tim inilah yang akan
menyukseskan karya kita.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa berusaha untuk menulis setiap hari dengan
menulis apa saja dan apa adanya. Dan hendaknya menjadikan pekerjaan menulis setiap
hari itu sebagai suatu kebutuhan.
0 komentar:
Posting Komentar